Brownie Pudding: Yummeh!

by | | 0 comments
Dua minggu ini Aisyah libur sekolah. Artinya, dua minggu pula saya nggak perlu anter jemput dia ke sekolah. Yang artinya lagi, saya punya waktu ekstra buat melakukan sesuatu selain bengong dan berkhayal. Maka selama liburan ini saya berniat masak tiap hari. Ya nggak masak-masak serius (kaya nasi tumpeng atau gule kambing), sih, tapi ya minimal sehari saya melakukan sesuatu yang menghasilkan sesuatu yang bisa dimakan. *ini lagi infatuated sama Syahrini apa yak, sesuatu melulu*

Anywayyyy.. Sejak day one Aisyah libur udah mulai masak-masak, sih. Tapi masakannya standar aja. Masakan sehari-hari gitu. Jadi males juga di share di blog. Nah hari ini masaknya, meskipun simpel banget, tapi diluar dugaan rasanya maknyius banget. Jadi bolehlah kita orang share dimari, yes.

Hari ini saya bikin Brownie Pudding. Resepnya saya dapat dari salah satu member Langsung Enak, yaitu sebuah grup di Facebook untuk para penyuka makan dan masak.
Bahan-bahan yang diperlukan buat bikin Brownie Pudding ini murah dan gampang, yaitu...

1 liter susu UHT plain
5 lembar roti tawar, sobek-sobek
2 bungkus agar-agar plain (saya pakai warna coklat)
100 gr dark cooking chocolate, lelehkan (karena ga ada timbangan saya pake 2 blok dcc Colatta dipotong dari kemasan 250 gr)
25 gr coklat bubuk (kan ga ada timbangan, yah, jadi saya pake 2 sdm muncung)
200 gr gula pasir (tadi saya kira-kira aja 5-6 sdm)
1 kuning telur

Cara buatnya juga gampang banget, blender semua bahan sampai tercampur rata, lalu didihkan. Jangan lupa selama dididihkan di api kecil diaduk terus biar ga menggumpal dan nggak mengendap di dasar.


Kalau sudah mendidih, tuangkan ke cetakan puding, terus kalau sudah agak dingin masukan kulkas. Kalau sudah padat, potong-potong dan sajikan. Dikasih vla vanilla lebih enak. Yum!


Untuk vla nya saya pake vla instan. Praktis lah tinggal diseduh air termos (atau air dispenser), aduk-aduk, dan masukin ke kulkas. Oiya, si Brownie puding ini kalau baru sebentar di kulkas teksturnya kaya puding Hoka-Hoka Bento gitu. Tapi kalau agak lamaan, jadi lebih padet dan mirip cake. Cuma kalau soal rasa, enak! Coklat banget dan lembut dilidah... Bakalan jadi menu andalan buat cemilan nih. Bahannya gampang, bikinnya cepet, rasanya enak, dan ga pake ribet. Nyiussss!

by | | 0 comments


I once believe that it is real. Now diary is merely a myth.

Yang hilang dari OSPEK

by | | 0 comments
DISCLAIMER: postingan ini ditulis jam 1 pagi. Mohon maaf kalau ada kalimat atau kata-kata yang agak aneh penempatannya :D.


OSPEK, apa masih perlu? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu tergantung tujuan dari diadakannya OSPEK itu sendiri. Bukan tujuan yang tertulis saja, tapi juga yang tertanam di hati para kakak-kakak senior panitia OSPEK.

Kalau tujuannya untuk gagah-gagahan, ngerjain anak baru, menunjukan senioritas dengan siksaan fisik dan psikis, apalagi untuk melecehkan (juga secara fisik dan psikis) mahasiswa baru, tentu ga perlu lagilah ada OSPEK di muka bumi ini.

Tapi kalau tujuannya untuk menyiapkan mahasiswa baru untuk menghadapi dunia kampus dan dunia kerja kelak, masih bolehlah OSPEK diadakan. Tentunya dengan mengeliminasi siksaan fisik dan psikis berlebihan* di acara OSPEK. (*notice that 'siksaan' dan 'berlebihan' sifatnya relatif)

Saya setuju bahwa OSPEK yang baik dan benar bisa menghasilkan kampus (minimal angkatan) yang solid dan mahasiswa yang tangguh. Meskipun, tentu OSPEK hanya salah satu faktor yang bisa menghasilkan kekompakan dan ketangguhan, dan bukan syarat mutlak untuk itu. (Saya dulu berkuliah di kampus yang tidak mewajibkan OSPEK, pun saya tidak ikut OSPEK, tapi kami cukup solid and my university years was cool - socially and academically).

Acara OSPEK memang menjanjikan kekompakan dalam senang apalagi susah. Bagaimana tidak, hampir setiap hari (bahkan selama setahun pertama untuk para calon engineers!), senior mengawasi adik-adik barunya. Yang salah satu orang, yang kena seangkatan. Acara OSPEK juga hampir pasti melahirkan mahasiswa baru yang tangguh. Karena tak cukup hanya bergelut dengan tugas dari dosen (di dunia akademis yang sama sekali baru dan berbeda dari SMA), mahasiswa baru juga harus mampu memenuhi tugas dari para senior. Dan yang paling terasa adalah, OSPEK memunculkan rasa bangga dan rasa cinta terhadap kampus. Tentu saja, selama masa OSPEK hampir setiap saat mahasiswa baru disuguhi success story almamater, para senior, para dosen, dan para alumni. Dan pada beberapa kasus, OSPEK juga berbonus jodoh. Minimal college sweet heart, lah.

Secara pribadi, saya mengamini OSPEK (sekali lagi, yang tanpa siksaan fisik dan mental yang berlebihan) bisa menghasilkan banyak hal positif untuk para mahasiswa baru. Hal-hal positif yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola pikir dan cara pandang si mahasiswa baru. Bahkan sampai dia sudah bukan mahasiswa baru lagi. Bahkan sampai dia sudah lulus dan terjun ke masyarakat. Otomatis, ini juga akan berpengaruh pada kualitas lulusan yang pastinya mengangkat (atau menjatuhkan) nama almamater. Dan banyak perguruan tinggi (berkualitas) yang sudah membuktikan keampuhan OSPEK ini.

Tapi ada satu hal yang saya rasa, terlupakan oleh panitia dan pembimbing OSPEK. Karena 'hasil' OSPEK ini akan berpengaruh sampai kelak, mestinya yang ditanamkan pada mahasiswa baru bukan cuma 'sebagai mahasiswa kampus anu saya harus tangguh, cerdas, visioner, and the blahblah' atau sekedar kebanggaan pada almamater.

Justru (IMHO!) yang paling penting ditanamkan dalam OSPEK adalah, 'sebagai mahasiswa kampus anu yang tangguh, cerdas, dan sangat bangga pada almamater, saya harus rendah hati'. Karena mau tak mau, kelak para mahasiswa baru ini akan terjun ke masyarakat, akan berbaur, akan bertemu orang lain yang bukan hanya tidak satu almamater dengan mereka, tapi juga bahkan tidak memiliki cara pandang dan pola pikir yang sama. Pada para mahasiswa baru ini harus ditanamkan bahwa, kelak, dunia nyata yang akan mereka hadapi lebih luas dan lebih heterogen daripada kampus mereka. Mahasiswa baru ini harus diingatkan untuk seperti air, bisa menempatkan diri dan mengukur diri sesuai 'wadah' tempat mereka berada. Tidak perlu membeku, menguap, atau menyublim. Cukup tetap menjadi air yang bisa menyesuaikan diri dengan 'wadah'.

Banyak contoh, alumni perguruan tinggi-perguruan tinggi ternama yang dianggap sombong dan 'tinggi' karena merasa 'paling (top)' dibanding lulusan perguruan tinggi yang kurang ternama. Iya, mereka pandai, mereka brilian, tapi kalau tidak bisa diterima di lingkungan sekitar maka kualitas mereka sebagai manusia akan berkurang. Yang paling gawat adalah mereka yang tahu bahwa mereka congkak, tapi merasa berhak untuk congkak karena mereka cerdas. I have the right to become a bitch because I am brilliant. Di lingkungan yang homogen, ungkapan dan perilaku itu mungkin 'lucu'. Tapi di lingkungan yang heterogen, bisa-bisa orang seperti ini tidak mendapat tempat, dan tidak dihormati.

Jadi, ternyata mendidik mahasiswa baru untuk siap mengahadapi hidup ini tidak sederhana. Tidak cukup hanya dengan membangun kecerdasan dan membentuk kepercayaan diri, tapi juga menanamkan kerendahan hati. Dan ini menjadi salah satu PR untuk penyelenggaraan OSPEK yang sukses.

Gravity: For If You Think 'Cast Away' was Devastating

by | | 0 comments
Akhirnya! After almost a year watching it's trailer on Warner TV, we're watching Gravity (in 3D) at Blitzmegaplex. Yus, it was a movie date with husband. Squeezing a 90 minutes between visiting a relative who was hospitalized and taking stuff from a friend's gallery.

And it was the most devastating ninety frikkin' minutes of my life - in a good way. I mean imagine you are cluelessly (if there's such a word) flew around the space on your first mission with no communication and a chance of sudden space debris heading to you, trying to make your way home. Imagine Cast Away, but in outer space where oxygen is limited, and you barely recognize everything around you. How can it's not devastating?

Adegan dibuka dengan tiga astronot yang melayang-layang di luar angkasa. Adalah Dr. Ryan Stone (Sandra Bullock), seorang ahli bio-medical yang sedang melakukan misi pertamanya ke luar angkasa untuk memasang sistem baru di satelit, Matt Kowalsky (George Clooney) seorang veteran astronot yang memimpin misi, dan Shariff, seorang engineer. This was their last day on space, and everything went smooth. Sampai Houston melaporkan adanya 'serangan' pecahan satelit Rusia yang baru diledakan. Situasi yang tadinya tenang berubah penuh kepanikan. Serpihan-serpihan satelit dngan kecepatan tinggi menabrak semua, termasuk kapal luar angkasa Explorer yang menjadi tumpangan dan rumah mereka di luar angkasa.

Meskipun mood penonton untuk deg-degan sudah dibangun sejak awal, tapi buat saya, film baru benar-benar dimulai setelah hujan space debris ini. Dr. Ryan Stone bergelung di gravitasi nol, dengan kabel menjuntai disekitarnya, persis seperti di dalam rahim. Setelah itu, dimulailah berbagai usaha penyelamatan. Selama film saya banyak menahan napas mengikuti usaha-usaha penyelamatan diri sang astronot untuk kembali ke bumi. Mulai dari kepanikan saat terlempar sendirian, sampai berusaha menguasai alat-alat baru yang selama ini hanya dikenal di simulasi. Mulai dari ketegangan saat komunikasi terputus, sampai saat-saat genting ketika oksigen menipis. Tapi jangan khawatir akan ikut kehabisan oksigen juga karena terlalu lama menahan napas. Beberapa kali ketegangan-ketegangan ini juga dicairkan oleh dialog-dialog kocak Clooney yang berperan sebagai astronot berpengalaman, yang berusaha menenangkan astronot lainnya.

Semakin lama menonton film ini, saya merasa bahwa Gravity bukan semata-mata bercerita tentang misi penyelamatan diri, tapi tentang hidup dan kehidupan. Bahwa manusia ternyata, literally, memang hanyalah sebentuk benda mikroskopis di alam semesta, yang tak berdaya tanpaNya. Dan bahwa kita lahir untuk kemudian selalu berusaha untuk survive. Dalam usaha survive tersebut, ada kalanya kita merasa sudah berhasil, tapi ternyata di depan kita masih ada halangan. Dan ada kalanya kita merasa gagal, tapi ternyata Tuhan masih memberi kita jalan untuk terus, secara misterius.

Terlepas dari jalan ceritanya yang bikin saya penasaran untuk terus menonton, film ini berhasil menggambarkan keindahan luar angkasa, dan bumi dilihat dari luar angkasa. Scoring nya juga sangat mendukung jalan cerita. Ada momen dimana kita diajak menikmati kesenyapan luar angkasa, ada juga momen menegangkan dengan suara yang tidak terlalu menggelegar, tapi membuat kita ikut merasakan ketegangan dan kepanikan para tokoh.

All in all, this is a good movie to watch with your friends, your loved ones, or even on your own (the third option is for weird people like I who enjoy watching movie alone). For some people with very technical way of thinking it might be a bit boring, but for people who love to seek the meaning behind a story line, Gravity is a must watch.


SPOILER ALERT. Tulisan di bawah ini tentang annoying couple sitting next to us dan agak nggak ada hubungannya sama jalan cerita film, but I just have to tell this. And I've tried my best not to spoil the story, but I just can't. Kalau belum nonton dan penasaran, mendingan baca bagian ini tar aja abis nonton, hehe..

So, there will always be those stupid people who's talking during the movie. Commenting on every frikkin scene, asking (or informing!) about something that is very obvious. At first I was worried about the ABGs on back row. But apparently, the real danger was the stupid couple with stupid girlfriend next to me. I shoosh her once for talking too much, but she just ignored that. I mean her comment was really stupid and loud! I think the whole theater could hear her.

When the astronauts trying to reach the International Space Station after the catastrophe:
"Itu di ISS nya ada orang ga sih?"
We don't know yet. Don't we?!

On the 'fetus like' scene.
"Ih kaya bayi!"
Yes, we all can see that. Wa share the same big screen, aren't we?

When Stone trying to cut some rope to escape:
"Cepetan! Jangan liat-liat dulu!"
Thank you for the advice. But that won't help her to go faster. And that surely won't help us - the other audiences you share this theater with - to feel better.

When Stone accidentally bumped her head while trying to put fire off:
"Bego!"
LOE YANG BEGO!!!

When Kowalsky opens the door while Stone is not wearing her helmet:
"Itu kebakar ya mukanya? Kebakar ya?"
Well if so, this movie would end right there, no?!

And when I just thought it was only the girlfriend who's stupid, suddenly the boyfriend (which I almost advice him to find a smarter girlfriend) commenting on even louder voice.
"Hah kodok? Oh ini mah di danau! Danau Zurich udaaahhhh!"
*imagining pouring hot popcorn butter to him*

I start to think they were the same match-made-in-heaven-made-for-each-other-couple who sat next to us when we watched Argo sometimes ago. The girlfriend's comments is as stupid as the one when we see KFC on one of the scene.
"Ihhhh KFC!"
YES WE ALL CAN SEE!

There should be a service in every movie theater that allows us to know which seats are free from potentially annoying audience(s).



Weary

by | | 0 comments
Because you only see what your eyes want to see.


So now I remember how does it feels to be brokenhearted, again.

Tiba-tiba...

by | | 0 comments
Ah, bertemu teman-teman sehobby memang bikin hati senang. More stories to come about this community I recently joined. But for now...

Tiba-tiba pengen benerin mesin jahit yang sudah bertahun-tahun tak terurus. Punya nenekku. And it's a Singer! Heyho lesgo. Mari mulai (belajar) menggenjot!


Sekolah Aisyah :)

by | | 1 comments
Seperti saya sebutkan di postingan sebelumnya, proses mencari dan memilih sekolah buat si cikal Aisyah tidaklah sederhana. Sebenarnya bahkan proses pencarian sekolah ini sudah berlangsung sejak si bocah berusia 2 tahun. Tapi karena satu dan lain hal, maka Aisyah baru saya dan suami masukan sekolah di usia TK.
Dan kami memilih sebuah sekolah montessori Islami, yang sampai saat postingan ini ditulis, sekolah Aisyah ini masih satu-satunya sekolah Islami yang menggunakan sistem montessori.

Sekolah Aisyah yang jaraknya tidak dekat dari rumah (kalau nggak mau dibilang agak jauh) ini, memang mengundang banyak pertanyaan. Terutama dari kakek neneknya dan tante-tante saya dan suami. Kenapa jauh sekali? Aisyah ga kecapean? Kenapa ga cari yang dekat rumah? Pulang perginya gimana? Dan pertanyaan lainnya yang sampai saat ini masih sering muncul. Memang sih untuk seusia TK, perjalanan rumah-sekolah yang memakan waktu 20 menit naik motor kalau lancar atau 30 menit naik angkot tanpa macet dan ngetem, terhitung jauh. Dan kadang melelahkan buat saya, apalagi kalau ditambah Aisyah rewel di jalan karena ngantuk atau kepanasan di angkot. Tapi tentu saya dan suami tidak gegabah dalam memilih sekolah ini sebagai sekolah pertama Aisyah. Ada beberapa alasan kuat yang menjadi dasar mengapa sekolah ini begitu menarik buat kami.

Pertama, dan yang paling penting, Aisyah suka dan betah bersekolah disini. Sebelum sekolah di sini, bocah pernah trial di beberapa sekolah. Tapi cuma disinilah pas trial hari pertama Aisyah langsung mau masuk kelas tanpa drama dan langsung nempel sama gurunya (yang dipanggil Bunda). Pas trial pun saya dan Bundanya tanya, Aisyah jauh ga sekolahnya? Cape nggak? Dia jawab nggak. Dan pas saya tanya mau sekolah di sini apa nggak? Dengan mantap dia menjawab 'Iya'. Sampai hari ini, belum (dan jangan sampai - aamiin) ada drama berarti dalam kehidupan sekolah Aisyah. Paling cuma kalau pagi baru datang biasanya dia agak 'melempem'. Belum panas, mungkin. Tapi pas waktunya masuk kelas dia mau masuk kelas dan selalu pulang dalam keadaan ceria.

Kedua, sistem pendidikan yang ditawarkan. Dari dulu, saya memang tertarik sama sistem pendidikan Montessori. In brief, sistem ini lebih mengajarkan anak life skill untuk survive dan mau belajar terus dibanding skill membaca atau berhitung. Sekolah ini tidak memaksa anak untuk duduk dan memperhatikan guru, tapi membiarkan anak untuk bereksplorasi (dengan diawasi Bundanya tentu). Belajarnya pun dengan cara bermain, mulai dari masak-masakan dampai make up-make up an ada. Dan si Bocah yang cewek banget ini bahagia sekali, tentunya. Hebatnya, biasanya sekolah yang menerapkan sistem Montessori biayanya selangit. Nah di sekolah Aisyah ini biayanya masih reasonable.

Itulah yang jadi alasan ketiga kenapa saya dan bapaknya Aisyah memilih sekolah ini. Dengan sistem dan fasilitas yang ditawarkan (selain alat belajar yang lengkap, bangunan sekolah yang homey dan nyaman, dan acara berenang, sekolah ini juga punya halaman rumput yang luas dan aman karena berpagar tinggi), biaya sekolahnya ga bikin megap-megap. Tidak murah memang, tapi dibanding sekolah sekelas ini, biayanya masih lebih terjangkau.

Alasan keempat, yang ga ada hubungannya sama sistem pendidikan tapi penting juga adalah, hanya sekali naik angkot kalau pulang ke rumah. Penting, karena meskipun tidak dekat, tapi minimal ga naik turun angkot. Jadi sepanjang perjalanan Aisyah bisa tidur dan nggak ribet gonta-ganti angkot. Apalagi Aisyah punya teman-teman pulang bareng yang sama-sama naik angkot yang sama. Jadi di jalan dia nggak bosan.

Sekarang, setelah beberapa bulan menyekolahkan Aisyah di sini, saya makin bersyukur. karena meskipun Aisyah belum bisa baca tulis (saya nggak khawatir karena memang belum waktunya juga), tapi terlihat beberapa perubahan yang positif. Aisyah sekarang lebih berani speak up kalau dia nggak suka sesuatu, berani kenalan duluan - minimal senyum duluan - saat ketemu anak lain yang baru dia kenal, dan lebih bertanggung jawab. Setiap habis main, saya nggak perlu lagi narik otot buat minta dia beresin. Hampir otomatis dia langsung beres-beres, minimal hanya perlu saya ingatkan sekali dua kali. Habis makan pun dia selalu bawa piring kotornya ke wastafel, dan sesekali mencuci sendiri piringnya. Secara personal, Aisyah sekarang lebih terbuka dibanding sebelum bersekolah.

Saya juga senang melihat interaksi Bunda-bunda dengan murid-muridnya. Bunda-bunda selalu tersenyum dan tidak pernah ketus, meskipun kelakuan murid-muridnya kadang ajaib banget. Bunda-bunda juga selalu open untuk konsultansi mengenai perkembangan Aisyah. Acara-acara hari besar nasional pun dirayakan dengan cara yang menyenangkan. Kemarin pas 17an, ada acara aneka perlombaan. Tapi tidak ada hadiah untuk pemenang. Semua murid adalah pemenang karena sudah mau mencoba dan berusaha. Satu lagi asyiknya, sebulan sekali ada parenting class bersama Bunda dan psikolog, gratis. Plus orang tua murid disini akrab satu sama lain. Saya bahkan punya teman-teman sarapan baru :D.

Alhamdulillah cita-cita saya (dan suami) buat menyekolahkan anak di tempat yang bikin anak senang dan emak bapak tenang insyaAllah tercapai. Dan tentunya kami berdoa, Aisyah (dan Rafa kelak) akan selalu menikmati bersekolah dan ingin belajar terus. Semoga sekolah pertama Aisyah ini bisa menjadi pondasi untuk menguatkan niat belajar Aisyah sampai kapanpun. Aamiin.

Analytical Parenting

by | | 0 comments
Disclaimer: don't be fooled by the title. This post is merely curhat as usual.

Orang tua jaman sekarang memang berbeda dengan orang tua jaman dulu, terutama dalam pola didik dan pola asuh. Minimal, saya merasa pola didik dan pola asuh saya berbeda dengan orang tua saya.
Thanks to the internet, orang tua jaman sekarang bisa dengan gampang mengakses teori-teori dan perkembangan terbaru dari dunia pendidikan dan pertumbuhan anak. Ini bikin orang tua sekarang terlihat lebih involve dalam perkembangan dan pendidikan anak.
Bukannya dulu orang tua membiarkan anaknya tumbuh sendiri macem toge sih, tapi kelihatan aja sekarang banyak orang tua baru yang lebih kritis dan lebih terlibat.

Contohnya dalam hal sekolahan. Sadar ga sih kalau orang tua angkatan mama papa kita kalau milih TK buat anaknya biasanya kriteria utamanya adalah deket rumah. Ga terlalu mikirin sistemnya gimana, atau cara interaksi guru dan muridnya gimana. Sementara orang tua jaman sekarang biasanya browsing dulu di internet sampe mabok, terus survey lokasi sampe mabok, lalu trial,sampe,mabok, dan akhirnya daftar setelah menyingkirkan sekolah yg sistemnya (dianggap) kurang oke, interaksi guru-muridnya dianggap kurang cocok, dan biayanya ga bikin mabok. Agak jauh dari rumah nggak apa-apa, asal anak senang, ortu tenang. Contoh orang tua seperti ini adalah saya.

Ga berenti sampai situ, karena terbiasa terpapar dengan banyak informasi soal pendidikan dan perkembangan anak, orang tua jaman sekarang pun terbiasa menganalisa tingkah laku anaknya. Contoh ya, kalau orang tua jaman dulu anak lakinya doyan berantem, ga terlalu khawatir. Karena mereka percaya, ya memang begitulah anak lelaki. Atau anak perempuannya cengeng, ga risau juga. Karena percaya, anak perempuan sensitif itu wajar adanya. Beda sama orang tua jaman sekarang. Setelah satu bulan sekolah anaknya masih susah berteman, khawatir anaknya kuper. Anaknya sering mimpi dan kebangun di malam hari, risau anaknya memendam sesuatu. Dan biasanya langsung car referensi dari internet, atau tanya guru/ahli perkembangan anak. Contoh orang tua jaman sekarang yang seperti ini adalah saya.

Mungkin ya, kekhawatiran dan kerisauan yang muncul ini selain karena berbagai info sana-sini, pun karena ada keinginan sang anak tidak tumbuh kuper seperti emaknya dan tidak inntrovert seperti emaknya. Banyak analisa yang saya lakukan soal perkembangan anak-anak saya dikala saya lagi bengong senggang. Biar keren, saya menyebut ini sebagai analytical parenting. Ya asal jangan kebanyakan analisa tapi ga ada action juga, sik.

Nah anyway, saat ini saya sedang menganalisa kelakuan baru si bocah cewek. Awal-awal sekolah dia mau aja ditinggal dan langsung nempel sama gurunya pas baru dateng. Tapi sekarang kenapa ya kalau saya antar sekolah dia pasti nempel terus sama saya dan ga mau lepas sampai bel masuk plus harus saya antar sampai pintu kelas?

Udah dibilangin, kan, ini cuma curhat.

Waiting for The Sun to Shine

by | | 0 comments
Some decisions are not for us to make. Even if it's affecting our life, our very personal life. Even if our sanity is at stake. Even if it's been going on repeatedly and clearly stated.

The truth is, to someone, we're not that important. No matter how much we try to say and do, we're probably just a bunch of 'can do later, but not now'. Because for someone, a lot of more important things are happening. But not our life. And perhaps, will never be.

What's left to do now is try to stand tall, stand firm on our own feet. Build our own future and not to let our life ruined. Because we're waiting for too long and don't know how much longer we will have to wait, because we don't know how much longer can we stand being like this.

Now, the question is, will you take my hand and throw your hestitation away?

Things That Get to My Nerve

by | | 0 comments
I can be annoyed by some kinds of people. But among all, here are the top list of people who annoys me the most.

Careless people. Especially those who doesn't bother to put things back on it's place, or let everything lying around without any clue when they will tidying up. People who doesn't bother to take good care of their own stuff and other people stuff (MY stuff especially).

People who easily share cups, spoon, and even toothbrush (eeeww - I KNOW!). I grew up taught NOT to share cups or spoon (sikat gigi mah sudah barang pasti yah) for hygienic reason. Even if it's with my own parents or sibling. So at home, if I found my used cup/ glass/ mug on suspicious condition (eg. moving place), I'd rather put ini in the sink and take a new one.

Those are two types of people that often gives me headache. Just two, but may cost me serious mental disturbance :p.

Anyway, if you get really annoys with people who's grammatically ill, you might don't want to read this post at the first place.

Mimpi-mimpi Luar Negeri

by | | 0 comments
I used to believe that I have wings to fly around the world.

Acara beberes dalam rangka pindahan beberapa minggu kemarin menguak banyak hal dari taun-taun saya kebelakang. Salah satunya adalah tumpukan prospektus program master beberapa perguruan tinggi di luar negeri. Ternyata mimpi saya buat ambil master di luar negeri pernah sebesar itu. Sekolah dan tinggal di luar negeri adalah satu dari banyak mimpi yang saya hampir lupa.

Pikiran saya lalu terseret lebih jauh lagi ke masa kecil. Ternyata dari kecil saya memang sudah ingin ke luar negeri. Kalau waktu kecil, tentu cita-citanya adalah untuk berlibur. Saya kemudian teringat, kalau saya pernah berikrar akan ke Maroko sebelum saya menikah. Tapi belum kesampaian. Dan mimpi berlibur ke luar negeri - yang buat sebagian orang mungkin kegiatan sehari-hari - sudah perlahan saya lupakan.

Apa yang membuat saya (tak sengaja) melupakan mimpi-mimpi luar negeri saya? Saya rasa turning point yang paling mempengaruhi adalah menikah dan punya anak. Sejak berumah tangga, pikiran dan tubuh saya lebih domesticated. Jangankan memikirkan sekolah lagi, kerja kantoran saja sudah tidak mau. Saya berfikir, sayang, waktu yang sekian banyak saya habiskan di luar lebih baik untuk mengurus dan menyaksikan anak-anak bertumbuh.

Liburan ke luar negeri tentu masih bisa dilakukan. Hanya pastinya effort untuk menabung harus 4x lipat, karena keluarga kecil kami sekarang berjumlah empat orang. Liburan berdua saja atau pergi sendiri bersama teman-teman? Belum tega meninggalkan bocah-bocah yang masih balita. Tidak tega merepotkan orang rumah dengan menitipkan mereka berhari-hari. Saya ingat, waktu kuliah, saya bersama beberapa teman dekat berikrar akan liburan bersama ke Hong Kong tahun 2010. Tapi itupun belum terwujud. Mungkin karena saat itu rata-rata kami baru menikah dan baru punya bayi. Jadi belum tega untuk pergi bersenang-senang dan berlibur tanpa keluarga.

Bukan, saya bukan menyalahkan pernikahan untuk mimpi-mimpi saya yang terlupakan. Karena saya tidak merasa terpenjara atau terkekang, apalagi merasa terpaksa harus membunuh mimpi-mimpi luar negeri saya. Tapi memang manusia punya satu turning point dalam setiap hidupnya. From an old someone, to a new someone. Perubahan yang bisa menjadi lebih baik, atau menjadi lebih buruk.

Dan mimpi-mimpi luar negeri saya sekarang sudah di pak rapi di dalam kardus coklat. Menunggu untuk diwujudkan, atau sama sekali dilupakan.

Typical Saturday Night

by | | 0 comments
Sebagai emak bapak dengan dua anak balita, jarang sekali malam minggu kami pergi berkencan atau jalan-jalan keluar. Biasanya kami menghabiskan waktu dengan mengobrol tentang isu-isu internasional. Seperti malam ini.

Saya: Pap, ntar nonton Running Man yang episode Kim Jong Il ya?
Suami: Hah? Ada?
Saya: Eh Park Ji Sung maksudnya. Hahaha. Tapi kebayang ya kalau ada episode itu..
Suami: Ya ga mungkin juga, udah meninggal Kim Jong Il nya..
Saya: Kalau anaknya Kim Jong Il siapa namanya?
Suami: Heum? *pasang tampang I-know-where-this-is-going*
Saya: Kim Jong San, hahahah..
Suami: *palmface*
Saya: Kim Jong Il punya kembaran, tauk.. Namanya siapa ayoooooo..
Suami: *pura-pura ga denger*
Saya: Kim Jong Sik, hahahahaha..
Suami: ....

Krik krik krik.

Cheerleader

by | | 0 comments
I am a natural born cynical person, never fails to find negative comments on everything, hard to please, and you'll rarely find me cheer people up with words I don't really mean to say (a.k.a ugly in basa-basi thingy).

But as a wife and a mother of two, I should practicing more on being a positively happy supportive cheerful person.

I might considering making cheerleaders as my role model. Therefore, I can be a new me: cheerful and supportive while I still can keep my old annoying bitchy me.

Oh I'm so full of sh*t. LOLs.

'Photos from your phone' is a part of Google+ for Android and iPhone. Download now.

by | | 0 comments
Yet I'm stuck with Windows Phone.Ohkay.

Nevermind

by | | 0 comments
Some people tends to insist on living in their own world inside their heads. With constantly inconsistence consistency, and doesn't give a f*$k about anything else. About anything that doesn't suit them, anything that doesn't mean that much to them. Sad, because they never try to see it on anither perspective. And don't expect them to try to put their feet on someone else's shoes.

This world, my friend, is full with ignorant, careless people.

But nevermind. Let it be my problem and not yours.

Mendadak Skin Care

by | | 0 comments
Ahoy. Udah lama ga nongol. Ini gara-gara ga pede sama penampilan wajah belakangan ini *alesan*. Hahaha..

Eh tapi beneran, sih, udah beberapa minggu ini kalo ngaca ga suka banget liat muka. Bukan sama bentuknya, kalau bentuknya mah alhamdulillah gitu-gitu aja dari dulu, ga mengecewakan. Tapi sama tone dan kondisi kulitnya itu loh. Ya kulit muka saya emang ga pernah putih-putih amat(dan ga pengen jadi putih kaya di iklan kosmetik juga, sih), tapi belakangan ini kulit muka bener-bener kusem, gampang berminyak, bruntusan, dan komedo yang mayan ganggua. Iyuh. Kalau difoto setelah beraktifitas pasti hasilnya butut karena muka sangatlah greasy plus warna kulit yang kusem se kusem-kusemnya.

Kekuseman muka ini emang masalah yang come and go. Tapi kayanya ga pernah separah ini. Emang sih semenjak punya anak dua kerasa banget perwatan wajah terlupakan. Kalau dulu masih sempetlah maskeran minmal dua minggu sekali. Sekarang mah boro-boro. Kalau ga kemana-mana pakai pelembab pun tak pernah, apalagi bedakan. Diperparah lagi sama masalah klasik angkoters dan motoris yaitu kena ekspose sinar matahari dan debu yang berpotensi menyumbat pori-pori.

Perawatan muka selama ini memang saya akui minimal banget cuma pake sabun pembersih dan pelembab, plus bedak tabur. Sangat tidak melindungi, memang. Oiya sempet pake masker Saripohatji. Mayan ngefek sih karena sempat pake selama 2-3 kali, dan keliatan kulit muka jadi lebih kenyal dan bruntusan di jidat berkurang. Tapi ya itu tea, kadang suka males sibuk gitu deh, jadi ga sempet buat nyeduh maskernya dan ngolesin ke muka. Jaman-jaman gadis dan awal nikah sempat menjadi pasien setianya dr. Rasmia yang praktek di Cibadak. Tapi berenti. Bukan karena ga cocok (cocok banget malah) atau karena bikin bangkrut (biayanya dibawah rata-rata dokter kulit terkemuka di Bandung), tapi karena kalau mau kontrol daftarnya harus 2 hari sebelumnya dan ngantrinya tetep berjam-jam. Ga ada waktu deh kalau udah punya dua anak begini.

Anyhoo, akhirnya demi kemaslahatan bersama mulailah saya brosang-brosing cari skincare yang sekiranya pas di wajah dan cocok di kantong. Pokoknya keywordnya: buat kulit kombinasi berminyak, ga bikin muka mengkilat, teksturnya ringan, dan kalau bisa dibawah 100rb harganya. Hey jangan kau kira aku tak mau pakai merk lokal (secara merk lokal mah hampir pasti harganya dibawah 100rb),tapi dari mulai Olay (anggap aja merk lokal lah ya), Sariayu, sampai Gizi Super Cream gak ada yang memberikan efek yang signifikan. Cocok sih cocok aja, ga bikin jerawatan dsb, tapi ke muka juga nggak ngefek. Minyak tetep, cakep kagak. Pengen nyoba SK II tapi takut. Takut cocok, terus ga mampu beli, terus ngebatin. Hihihi. Untungnya setelah browsing sana-sini dang ngobrol-ngobrol, nemu Kiehl's. Tekad sudah bulat dan kayaknya hati cocok sama Kiehl's, sayapun mampir ke tokonya. Saya disaranin pake yang Ultra Facial Oil Free yang di jar biru. Harganya yah mayan mahal, sih, 290rb. Tapi mengingat harga segitu bisa dipake buat 4-5 bulan, ya udahlah yah. Sebenernya sih disaranin buat pake complete range nya (face wash dan toner juga). Tapi berhubung ceritanya mau nyobain dulu, jadi ambil moisturiser gelnya dulu. Pulangnya dikasih sample sabun muka dan BB Cream yang ada SPF 50/ PA +++ nya. Ihiy.

Setelah tiga hari nyoba, memuaskan nih hasilnya. Alhamdulillah, yah. Muka jadi ga terlalu berminyak padahal seperti biasa disiksa dengan debu dan panas matahari. Cuma emang sih buat mengenyahkan kekusaman wajah perlu perawatan yang lebih komplet. Jadi, selain sepertinya akan mengaktifkan kembali Saripohatji, pun berencana membeli beberapa produk perawatan lain kayak si Cure Natural Aqua apalah itu yang berfungsi buat exfoliating dan sunscreen tentunya! Cuma sunscreen masih bingung pake apa, pengennya sih make yang SPF 50 sekalian, tapi takut oily jadinya. Tertarik sih sama Skin Aqua dan sunscreennya L'Oreal. Tapi Skin Aqua di botolnya tertulis moisturiser. Masa nanti jadi dobel pake moisturisernya? Sementara si L'Oreal katanya mengandung paraben. Serem ah. Oiya si sampel BB Cream dari Kiehl's itu udah dicoba sih, dan enakeuuuunnnnn.. Tapi harganya 550rb aja. Mikir-mikir dulu, deh. Kemarin aja si suami pas dikasi tau harga moiturisernya meskipun bilang "Nggak apa-apa", tapi mimiknya memunjukan, "Apaaaahhhh?! Moisturser seharga sepatuuuuuu?!". Hahaha. Selain itu juga masih mikir-mikir sih buat pake BB Cream. Meskipun BB Cream Kiehl's yang ada SPF 50 nya ini ringan, tapi tetep aja di bayangan saya BB Cream itu kaya foundation karena tinted. Jadi buat sehari-hari kayaknya terlalu repot berat. Atau kalau pun mau coba mungkin akan mencoba merk Korea atau merk lokal yang lebih murside.

Bulan depan sih kalau punya duit pengen mulai mengkoleksi skincare yang lengkap. Biar makin ketje dan yang pasti kulit sehat. Mungkin bisa dimulai dengan membeli produk sampel yang dijual di online stores. Doakan sakseus yah. Kalau kamu, skin care yang kamu pakai apa aja? Mungkin bisa dibagi pengalamannya :D..

'Standar Ganda' untuk Warga Negara Kelas Dua

by | | 0 comments
Sudah lama sebenarnya menyimpan unek-unek ini, tapi baru kepikiran buat di posting di blog sekarang. Ini pengalaman pribadi yang mungkin bayak dirasakan orang lain. Penderitaannya memang gak seberapa, tapi kalau ditumpuk-tumpuk bikin ngebatin juga.

Sehari-hari saya berkegiatan, selain naik angkot (atau sesekali naik taksi kalau bawa barang banyak dan sama anak-anak), saya juga sering diantar sisuami naik motor. Selama tidak hujan bada(g)i dan matahari tidak terlalu menyengat, motor merupakan moda transportasi favorit saya. Selain bisa lebih cepat sampai tujuan, hemat bahan bakar, pun nggak susah cari parkir.

Eh, ga susah cari parkir? Belum tentu.

Di era dimana sepeda motor merajai jalanan Indonesia ini *tsah* tetep aja sih susah cari parkir, apalagi kalau ke mall di senja yang cerah pada akhir pekan, atau ke pasar baru. Padahal semua motor diparkir dengan standar ganda. Yaitu standar dua pada motor yang menyebabkan motor parkirnya bisa tegak dan tidak miring sehingga tidak memakan tempat banyak (kalau masih nggak mudeng, sila lihat foto di bawah ini).

Contoh Parkir Standar Ganda (bukan motor saya)


Cuma ya saya nggak mau ngomel soal susah cari parkir, itu sih udah resiko pergi ke tempat yang banyak pengunjungnya. Yang mau saya keluhkan adalah kondisi parkiran motor yang di sebagian besar pusat perbelanjaan yang 'kurang manusiawi'.

Tipe parkiran motor kurang manusiawi pertama adalah parkiran di pusat perbelanjaan besar dan letaknya outdoor. Yang menyebabkan kalau matahari panas terik, saat naik bokong serasa disetrika dan saat habis hujan jok menjadi basah kuyup. Belum kalau lupa ninggalin helm dalam keadaan bagian lubang kepala menghadap keatas. Wassalam. Belum cukup sampai disitu, letak dari parkiran motor ke pintu masuk pertokoan amat sangatlah jauhnya. Sehingga saat masuk dan keluar pertokoan, rasanya habis bolak-balik dari Safa ke Marwah.

Tipe parkiran motor kurang manusiawi yang kedua adalah parkiran di basement paling bawah. Itupun kadang lahannya cuma sedikit. Yang paling mengganggu dari parkiran motor di lantai basement paling bawah adalah panas dan pengap. Kondisi ini sangat menyiksa saat antri keluar parkiran. Saat 'peak time' keluar parkiran, antri keluar motor bisa 15 menit sampai setengah jam sendiri. Iya, selama itu. Karena kalau mau keluar parkir motor biasanya ada upacara periksa STNK. Mending kalau parkiran di basement tapi pemeriksaan tiketnya di lantai atas, atau aksesnya dekat jalan menuju ke lantai atas (apa itu jalan nanjak yang meliuk-liuk di parkiran namanya saya nggak tau). Tapi coba bayangkan kalau pemeriksaan tiketnya disitu-situ juga dan tempatnya nun jauh di pojok jauh dari akses jalan keluar. Dalam kondisi minim ventilasi ada dua puluh atau tiga puluh motor yang antri keluar dengan mesin menyala, berapa banyak racun yang terisap paru-paru kita? Dan bayangkan juga petugas tiket parkir yang seharian bekerja disitu, berapa banyak racun yang mereka isap setiap hari?

Kenapa tidak ditukar saja sebagian parkir mobil tidak dipindah outdoor dan parkir motor dipindah kedalam? Tidak terlalu masalah rasanya mobil diparkir di luar. Kenapa parkir motor tidak ditaruh di parkiran basement paling atas? Kalaupun mobil harus mengantri lama saat keluar parkiran, tidak akan terlalu banyak racun yang dihisap karena bisa tutup jendela dan nyalakan AC.

Permasalahan lain adalah tarif parkir motor yang nggak masuk akal. Tarif parkir motor di tempat parkir mall rata-rata Rp. 1.000/jam, sementara tarif parkir mobil Rp. 2.000,-/jam. Ada yang bisa jelaskan kenapa tarif parkir motor (yang satu motor ga makan tempat sampai setengah parkir satu mobil) bisa setengah tarif parkir mobil? Tarif segitu pun tidak menjamin helm kamu tidak hilang kalau tidak dititipkan di penitipan. Menitipkan helm pun harus bayar lagi Rp. 500,- sampai Rp. 1.000,- per helm. Rasanya seperti dipaksa menitipkan ya, karena tentu saja manajemen nggak mau tanggung jawab kalau helm nggak dititipin terus hilang. Kenapa nggak ada yang punya ide menerapkan tarif parkir yang sudah termasuk tarif penitipan? Semua yang naik motor pasti pake helm, dan pasti nggak ada yang mau helmnya hilang saat parkir. Selain itu manajemen juga bisa menghindari guntreng buang-buang energi saat ada yang kehilangan helm di parkiran karena tidak dititipkan. Tapi ya tentu, kalau bisa, tarifnya yang masuk diakal. Kalau bisa.

Hal lain yang suka bikin ngebatin di parkiran motor (terutama di mall)adalah, kalau kamu bukan Eneng-eneng geulis, belum tentu petugas parkir mau membantumu memundurkan motor padahal mereka jelas melihat kamu ugal-ugil mundurin motor dari parkiran yang sempit.
Untuk yang satu ini saya acungin jempol buat penjaga parkiran motor di depan pasar baru yang perkasa mengangkat motor bebek yang terparkir dan terkunci, untuk memberikan jalan keluar untuk motor yang mau keluar parkiran.

Postingan diatas mungkin cuma omelan emak-emak yang sulit dimengerti oleh kamu yang sudah kaya semenjak lahir sehingga belum pernah sekalipun nyobain parkir motor di pusat keramaian. Tapi percayalah, ini adalah - sekali lagi - hal-hal kecil yang kalau lama-lama dikumpulin jadi bikin spaneng dan membuat saya merasa pengguna motor diperlakukan seperti warga negara kelas dua.
Satu hal lagi, di tempat parkir motor sering ada tulisan "Parkir Sepeda Motor Gunakan Standar Ganda". Dan saat melihat motor gede yang terparkir manis di tempat 'istimewa' di dekat kantor security, terlintaslah di benak saya. Standar ganda, indeed.

Kakaren Craftydays 7

by | | 0 comments
I was always an (amateur) crafter inside. Jadi ketika Tobucil mengadakan Craftydays yang ke-7 bulan ini, sudah barang tentu itu menjadi event yang paling saya tunggu-tunggu.

Jadilah kemarin saya berangkat ke Gedung Indonesia Menggugat dengan dibonceng sang suami naik Supra X kesayangan. Super excited karena selain mau lihat-lihat belanja karya crafter yang kece-kece, juga mau ikutan kelas membuat aksesoris dari kain perca yang dipandu oleh Dwaya Manikam.

Pertama dateng langsung masuk ke ruang workshop karena sudah telat 20 menitan. Di workshop bikin aksesoris ini diajarin bikin kalung dari perca batik dan manik-manik. I love doing this because it involves many kecosans and - in a weird but good way - ngecos makes me feel serene and calm. Ibaratnya satu kecosan membuang satu masalah dalam hidup. I could call it 'kecos therapy' *halah*.



Anyway, cerita sedikit soal Dwaya Manikam yang ngadain workshop ini, adalah sebuah organisasi yang memberdayakan ibu-ibu di daerah Cicadas untuk membuat aneka aksesoris dari perca. Dan hebatnya, aksesoris bikinan ibu-ibu ini sudah tersebar hampir ke seluruh penjuru Indonesia. Keren, ya. Gerakan yang sangat inspirasional dan patut ditiru.

Saya menikmati sekali sesi workshop ini. Waktu yang dikasih sebenernya cukup lama, 2 jam, tapi rasanya bentar banget. Dan inilah kalung hasil karya saya, belum terlalu rapi, sih. Tapi mayan lah buat pemula yang baru pertama kali bikin kalung dari kain perca.



Lanjut. Selesai workshop tentunya saya langsung ke main attraction dari acara Craftydays ini. Apalagi kalau bukan bazaar barang-barang kerajinan angan. Woohoo! Muter-muter dan sungguh barieukeun sekali. Apa itu barieukeun? Silakan lihat di kamus Basa Sunda :p. Anyhoo, muter-muter memang ga afdol tanpa belanja. Dan inilah hasil belanjaan saya kemarin:



Ada empat gulung benang rajut yang masing-masing harganya Rp. 6000,- (aslinya 10rb, tapi didiskon 40%), sabun susu kambing dan patchouli pack dari Moloka (16rb, 18rb, dan 12rb), boneka kaos kaki yang adagantungan kuncinya dari Nay Gadabra seharga Rp. 15.000,-, dan boneka gajah perca batik (yang sayangnya saya lupa bnama penjualnya) yang harganya Rp. 10.000,-. Total jenderal belanjaan saya kemarin Rp. 95.000,-. Lumayan yah. Tadinya pengen dompet buat tempat nyimpen peralatan perang dari Cemprut. Tapi sayang ga bawa duit lebih, hahaha.

Anyway, hasil belanjaan favorit saya adalah si boneka gajah ini:



Boneka rapi dan lucu begini (yang sayangnya saya lupa merknya apa) harganya hanya Rp. 10.000,- saja! Kalau sendiri bikin juga effortnya lebih dari itu kali. Dan si gajah ini dengan segera juga menjadi favorit Rafa yang memainkannya dengan gembira begitu saya sampai rumah.

Selesai muter-muter, mampir di kantinnya buat menikmati ayam asap Bin Ukon. Saya pesen ayam asap dengan side dish kentang yang dikasih bumbu herbs, kimchi, dan dikasih saus putih plus semacam sambal bangkok. Menu seharga 20rb ini disajikan sebagai cold dish and surprisingly very very delicious. Surprisingly karena saya kebayangnya ayam asap itu enaknya dimakan anget-anget. Ternyata dimakan dingin juga yummeh.



Oiya sambil menikmati si ayam asap, saya juga dihibur oleh penampilan dari musisi yang tampil d musik sore *TETOT. Mengulang kata: tampil*. Dilanjut menyimak craftpreuneur forum yang dipandu oleh Kak Tarlen (berbaju fuschia-hitam) yang lumayan meringankan beban saya karena ternyata cuma bisa berkarya maksimal saat lagi mood itu NORMAL. Lega. Hahaha.



Karena sudah sore, selesai acara forum saya memutuskan buat pulang. Sebenernya si suami sudah otw menjemput, tapi karena merasa sayang untuk menyia-nyiakan cuaca Bandung yang endes bendes sore itu, saya pun memutuskan menunggu suami sambil berjalan menyusuri Jalan Wastu Kantjana. Jalan kaki di tengah kota Bandung yang sudah lama sekali tidak saya lakukan itupun berujung di tukang baso ceker yang mangkal di bawah jembartan penebrangan di depan Masjid Al Ukhuwah, sekaligus menjadi meeting point dengan sisuami.

Well, that was an awesome day. Thank you Tobucil for having such a kewl event. Langsung memutuskan, tahun depan harus bisa gabung jadi peserta di Craftydays 8 :).




Repot Sekali

by | | 2 comments
Nyahahaha. Itu judul posting menyebarkan negative aura yah? Tapi ya emang itu sih yang saya rasakan selama beberapa hari ini saat booking tiket kereta api.

Jadi insyaAllah bulan depan merencanakan jalan-jalan naik kereta api untuk mengunjungi om di Solo. Sekalian ke Borobudur lah. Soalnya di usia saya yang ke 19 jalan (jalannya mayan jauh, sih, kayak dari Dago ke Maribaya) ini, saya belum pernah ke Borobudur. Anyway, ya udah, karena tau bisa pesen tiket lewat website PT. KAI, maka saya memutuskan pesen tiket lewat internet aja. Praktis, ga usah pake ngantri, ga makan waktu lama. Kirain begitu. Taunyaaaaa, pas pertama kali nyoba pesen tiket via web,ribet juga. Di tanggal yang dipilih katanya sudah tidak tersedia tiket, begitu pula sehari sebelumnya. Sempet gak curiga, sih, karena tanggal yang dipilih ini long weekend. Akhirnya milih sehari setelahnya. Pesan tiket berhasil sampai tahap oke dengan data dan pilih seat lalu... error. Nyoba sampai tiga kali. Tetep gagal. Mayan nyebelin sih. Karena harus ngulang milih tanggal, tujuan, ngisi data dan no KTP.. Sempet nyoba via tiketdotkom juga, tapi sama error jugak. Akhirnya menyerah.

Besoknya sisuami pun memutuskan untuk pergi ke statsiun, ke pusat reservasi. Waktu itu dia sore sekitar jam 4an kesana. Pas ambil nomer antrian... Jengjreng... Ngantrinya masih 160 orang lagi. Nyahahahaha. Sanes antosaneun. Sempet kepikiran beli di kantor pos atau Indomaret, sih. Tapi kalau di web resmi PT. KAI nya error mulu, apalagi via agen.

Malamnya saya coba telp ke 121. Karena menurut website PT. KAi bisa juga pesan tiket via call center. Tapi ndak bisa nyambung. Disuruh nunggu terus. Kata Mbaknya, "Mohon maaf telah membuat Anda menunggu. Telepon Anda penting bagi kami. Saat ini operator kami sedang berbicara dengan pelanggan lain". Ya ampun, Mbak, kalau saya penting harusnya diangkat atuh, Mbak. Katanya saya penting, tapi malah ngobrol sama pelanggan lain. Itu tuh ibarat seorang pacar yang bilang, "Kamu tuh pacar aku yang sangat penting buatku, tapi sebentar ya, aku lagi nelpon pacarku yang lain".

ANYWAYYYYY..

Ya udah karena gagal lewat telpon, hari ini saya mencoba datang ke pusat reservasi lagi. Siapa tau lebih beruntung. Lebih beruntung dari suami saya, sih. Karena di antrian saya cuma nunggu 50 orang ajah. Nah, sambil nunggu, saya iseng nyoba beli tiket via web PT. KAI lagi. Eh ternyata bisa, loh. Dan ternyata tiket di hari yang dipilih masih ada, nggak abis kaya pas saya nyoba sehari sebelumnya. Tiket secured, tinggal transfer. Mungkin pas kemaren itu lupa bilang bismillah. Hahaha.

Etapi ternyata permasalah masih ada. Pas mau transfer, muter-muter stasiun taunya gak ada ATM bank saya. Sementara kalau dari ATM Bersama nggak bisa transfer/ bayar. Akhirnya nemu ATM bank saya daaaannnnn... Ga ada loh menu 'bayar tiket kereta api'. Saya nyoba brosing di web PT. KAI, siapa tau ada petunjuk cara membayar, atau kode perusahaan buat transfer dari bank. Kagak ada. Akhirnya nemu cara transfer dan kode PT. KAI dari blog seseorang. Alhamdulillah bisa. Ya Mbok PT. KAI itu menyertakan cara pembayaran tiket yang lengkap gituloh di webnya.

Nah tiket sudah dipesan dan dibayar. Tinggal tunggu hari H. This is gonna be first long trip on train with a baby and a toddler. Cihuy!

New Addiction

by | | 0 comments
Disclaimer: berhubung saya bukan buzzer, jadi postingan blog ini bukan iklan. Review pribadi dan objektif.

Jadi ceritanya, saya emang lagi nyari sabun yang wanginya lembut dan ga terlalu artificial. Dan ternyata ga gampang nyari sabun yang wanginya kayak yang saya kepingin. Sempet nyoba sabun Ovale yang wangi teratai. Mayan sih, wanginya nggak terlalu nyengat, tapi masih kurang lembut dan kurang natural.

Sampai akhirnya beberapa minggu lalu pas jalan-jalan ke PVJ, nemu toko yang isinya jualan bath and body products gitu. Namanya Nicole's Natural. Letaknya di glamour level kalau nggak salah. Begitu lewat, langsung pengen masuk. Soalnya desain tokonya yang didominasi warna putih dan kayu 'mengundang' banget buat disambangi. Heheh.

Pertama masuk nanya-nanya dulu sama Mbaknya. Ini yang dijual apaan aja. Ternyata mereka jual dari mulai keperluan mandi (sabun cair dan batangan, bath salt, bath bombs) sampai aromatherapy (pot pourri, essential oils). Nicole's Natural punya lima rangkaian produk. Ada Rose, Mojito, Green Tea, Citrus, Lavender, dan Woods. Masing-masing dengan fungsi aromaterapi yang berbeda-beda.

Hari itu saya beli bath bombs Green Tea (yang katanya detoxifying)cost me 25rb, soap bar Rose dan Mojito (@ 40rb), dan bath salt Wood (30rb). Oiya, saya sengaja milih soap bar daripada sabun cair karena bentuknya lucu. Kayaknya enak buat dimakan :d.



Enggak, ding. Emang saya udah lama nyari soap bar yang natural gini. Dulu sih masih suka nemu Lush, tapi keknya Lush juga nggak natural-natural amat ya, pleus mahils. Nah, pas dikasih cium satu-satu (P.S. Mbak-mbaknya helpful banget deh. Saya nanya macem-macem mereka jelasin dengan ramah dan kasih saya cium satu-satu testernya)si Rose dan Mojito ini yang paling pas di hidung saya.

Soap bar Rose, kata Mbaknya, menjanjikan suasana romantis. Eh nggak gitu ding. Maksudnya menimbulkan ambience romantis gitu deh. Dan meskipun wanginya didominasi wangi mawar (ya iyalah), tapi wanginya ga terlalu sweet. Mungkin karena campuran bahan lainnya ya. Oiya, kalau liat dari webnya Nicole's Natural , bahan-bahan yang dipake semuanya natural. Ga ada tambahan kimia yang nggak penting. Kalau yang Mojito, mereka kayaknya terinspirasi dari minuman Mojito. Soalnya ada wangi mint yang mendominasi. Refreshing.

Kemudian, kemudiaaaannnn.. Yang baru saya coba sih si soap bar Rosenya. Lembuttttt banget di kulit dan mayan foamy. Terus ninggalin wangi yang soft dan teksturnya pas kena air itu juga lembut banget. Saking sukanya sama wangi dan teksturnya, sekarang tiap mandi saya sabunan dua kali. Hahaha.

Sementara si soap bar Mojito masih ngantri. Tapi one thing, pas baru beli, sabun ini kan saya taro di kamar. Eh kamarnya jadi wangi mint, lho. Seger. Mayan jadi ga perlu pake pewangi ruangan. Hehe. Terus meskipun si Mojito ini wanginya lebih kuat dari varian lainnya, tapi nggak bikin pusing. Soalnya wangi yang keluar bangetnya itu wangi mintnya, jadi malah bikin fresh. Oiya, sayangnya, penyimpanan jadi salah satu issue. Entah karena saya salah nyimpennya (sempet saya simpen di dalem paper bag yang agak ketutup), pas di cek sabunnya jadi agak berminyak gitu. Tapi nggak apa-apa, sih, ga jadi lembek atau berubah bentuk. Cuma kemasannya jadi agak greasy aja. Mungkin mestinya disimpen di kulkas apa gimana kali, ya.

Buat bath bombs dan bath salt, belum bisa kasih review karena masih nongkrong di dalam paper bag. Belum dipake, soalnya belum punya kesempatan mandi cantik lama-lama. Tapi wanginya sih sama ciamiknya dengan rose dan mojito. Wangi dominannya keluar, tapi nggak nyengat.

Oiya lupa, saya juga sempet nyicip natural sweet rock yang Citrus (13rb). Jadi itu kaya gula batu gitu terus dikasih perasa citrus. Enak, lho. Funny taste, in a good way. Yang pertama keluar pas dicoba rasa asem, ada sedikit asin dan bitter, dan ditutup manis yang pas.

Hal lain yang saya suka dari si Nicole ini adalah, mereka ramah lingkungan loh. Mereka pake paper bag dan untuk mengemas soap bar dan bath salt, mereka pake kertas singkong. Soap bar setelah diambil dari tray, langsung dibungkus kertas singkong pas dibeli. Bath salt juga disimpen di toples kaca besar, baru ditakar dan dibungkus kertas singkong pas dibeli. Nah untuk produk sabun cair, mereka ada sistem refill. Jadi kalau sabunnya sudah habis, tinggal bawa botolnya ke toko Nicole's, terus diisiin lagi deh. Harga refill tentu lebih murah dan ga nambah-nambahin sampah plastik. Refill stationnya juga lucu banget.



Anywayyy.. Yes, I love this product dan sangat mungkin jadi penggemar setia mereka, terutama untuk soap bar-nya. Overall, they have great scents, great feels on skin, a bit pricey sih, but if you love natural things (that really works out), bolehlah dicoba produk mereka. Tar kalau main-main ke PVJ lagi rencana mau beli natural sweet rock dan scented candle-nya ah.. Oiya selain bisa cek-cek web mereka, bisa juga cek-cek fan page mereka dan follow twitter mereka. Soalnya suka ada info promo-promo menarik. Silakaaaaannnn..


Jagad Alit

by | | 0 comments
Hari Minggu lalu, saya sama Aisyah ikutan parenting class - slah - workshop yang seru banget. Parenting class ini diadain sama Jagad Alit, semacam lembaga lokal Bandung yang mengadaptasi sistem pendidikan Waldorf. Intinya, sistem Waldorf ini mengajak anak belajar melalui bermain, jadi suasana belajar akan menyenangkan dan tanpa beban buat anak. Kalau mau tau lebih banyak soal Waldorf, mangga googling aja *hehe*.

Anyway, parenting class Jagad Alit ini adalah parenting class yang paling seru yang pernah saya ikutin. Kelas ini memang ditujukan buat ibu dan anak. jadi selama parenting class, bukan cuma si emak yang dapet ilmu, si anak juga bisa seseruan sekaligus dapet hal baru (dan teman baru!).

Jadi, pertama dateng, saya dan Aisyah masuk ke sebuah ruangan yang dipersiapkan buat ruang bermain anak. Saya aja liatnya seru, apalagi Aisyah. Di ruangan bermain ini ada home-made play doh dan hiasan-hiasan, finger puppets, balok-balok kayu, juga mainan-mainan lain yang kayaknya dibikin sendiri sama Teteh-teteh Jagad Alit. Dateng-dateng Aisyah langsung diajak main play doh sama Ambu Agie, salah satu pentolan *halah pentolan* Jagad Alit yang juga senior saya pas kuliah. Aisyah seneng banget. Udahlah emang hobinya main play doh, pun play dohnya banyak banget dengan berbagai hiasan yang menarik kaya kerang-kerangan, batu-batu, manik-manik, sampai glitter.

Setelah Aisyah terbiasa sama mainan dan teman-teman barunya, saya pun diajak ke ruangan parenting class. Di ruangan ini sudah menunggu Teh Kenny yang akan memberikan materi tentang 'How To Keep Your Kids Busy While You,re Doing Housework'. Materinya seru banget dan pakai contoh sehari-hari, jadi gampang dicerna dan diterapkan tentunya. Inti dari parenting class ini adalah, daripada menyerahkan anak kita pada 'electronic nannies' (TV, games console, tablet pc, dll), mendingan ikut melibatkan anak kita dengan pekerjaan rumah yang sesuai kemampuan usianya. Dan karena kelasnya kecil, maka suasana sharing juga lebih seru dan akrab. Oya, untuk materi lengkap silakan main-main ke notes Mbak Evi, salah satu peserta hari itu.

Selama saya di kelas parenting, beberapa kali Aisyah 'nyusul' masuk ruangan buat nunjukin kue play doh yang dia bikin. Sudah kue play doh nya saya terima, dia balik lagi ke ruang bermain. Salut deh sama Ambu Agie yang sabar nganterin Aisyah bolak-balik dan jagoan banget bujuk Aisyah buat kembali ke ruang bermain. Oiya ini salah satu 'kue' play doh buatan Aisyah:



Kue play doh ini tampak menggiurkan dengan isian manik-manik, kerang, beras warna-warni, gundu, dan taburan glitter :d.

Selesai parenting class, ibu-ibu kemudian diajari merajut sederhana. Tujuannya biar kedepannya ibu-ibu bisa bikin soft toys sendiri tanpa perlu dikit-dikit beli. Sayangnya sepertinya saya tidak kurang berbakat merajut, hehe.iya, di Jagad Alit ini rata-rata mainan yang dipakai buatan sendiri, lho. Saya juga dapet tips gimana cara bikin cat air yang aman dan mudah dibersihkan meskipun dipakai coret-coret tembok. bahannya cuma pewarna makanan, air, dan tepung maizena untuk mengentalkan.

Pas ibu-ibu merajut, rupanya anak-anak diajarin teknik tie-dye sederhana. Mereka mencelup kertas tissue dengan cat berbagai warna untuk menghasilkan campuran warna yang unik. Ini hasil tie dya Aisyah.



Kata Aisyah, tie dye ini judulnya 'siang', karena warna-warnanya cerah. Nah kalau yang ini judulnya 'malam'.



Untuk ukuran umur Aisyah yang baru 3 tahun 8 bulan ini menurut saya *sebagai emaknya* hasil tie dye nya oke banget. Perpaduan warnanya bagus banget. Dan teknik nyelupnya juga kayaknya oke, terlihat dari hasilnya yang ga belepotan. Mungkin dia berbakat meneruskan konglomerasi emaknya di dunia fesyen kelak. Heheh.

Anyway, ternyata bukan cuma emaknya yang menikmati sesi parenting class kali ini. Aisyah juga suka banget. Besokannya dia ngajakin lagi ketemu temen-temen dan main play doh. Sayangnya parenting class ini belum ada jadwal lagi karena bulan April nanti Teh Kenny dan Ambu Agie harus workshop Waldorf lanjutan. Saya sih mendoakan kelak Jagad Alit bisa punya sekolah beneran. Soalnya seru banget ini sistem pendidikan Waldorf. Aisyah aja yang susah adaptasi, terbukti gampang banget adaptasi dan betah bermain. Katanya, di Indonesia belum ada sekolah yang based on Waldorf education. Ada di Jakarta, tapi dia nggak full Waldorf, baru inspired by Waldorf aja.

Saya sih pastinya looking forward for next Jagad Alit's class. Oiya buat temen-temen yang pengen tau lebih banyak soal Jagad Alit, sila cek fanpage facebook mereka di: Jagad Alit - Waldorf. Hope you'll be as interested as I do ;).

Potong Kuku

by | | 0 comments
Dari jaman Aisyah bisa bilang 'Enggak' dan kabur kalau disuruh melakukan sesuuatu yang dia nggak mau, paling susah adalah membujuk Aisyah buat potong kuku. Padahal, kan, kuku panjang itu sarangnya penyakit. Dari mulai debu sampai telor naga cacing bisa nyelip di kuku. Seumur-umur belum pernah sukses motong kuku Aisyah pas Aisyah lagi bangun. Walhasil, si Mamah harus menunggu Aisyah tidur baru bisa potong rapi kukunya. Tapi karena suka kelupaan motong kuku pas Aisyah tidur, suka kecolongan juga tiba-tiba kuku Aisyah udah pendek tapi rege-rege karena digigitin.

Nah, hari ini tibalah saatnya untuk potong kuku Aisyah lagi. Mau potong tunggu Aisyah tidur takut kelamaan karena udah ada indikasi kuku telunjuk kirinya mulai digigitin.
Tiba-tiba saya keingetan, beberapa bulan ini Aisyah lagi terobsesi sama salon. Mulai dari main salon-salonan sampai pengen nyalon beneran.
Akhirnya saya coba deh trik main salon-salonan buat potong kuku Aisyah.

Saya ajak Aisyah 'manicure'. Ya gak manicure beneran kaya di salon lah. Awalnya Aisyah nolak, entah kenapa ini anak anti banget potong kuku. Tapi pas saya bilang, nanti kukunya dibersihin, digunting, terus dikasih lotion kaya di salon. Saya ngomong gitu samil nunjukin body butter saya. Eh dia mau, lho. Dan beneran, selama 10 menit dia anteng duduk sambil saya potong kukunya. Sambil potong kuku gitu saya berperan jadi 'Mbak Salon' dan si Aisyah jadi pelanggan salon yang bernama 'Tante Jelly' *iya akhir-akhir ini Aisyah juga suka ngarang karakter dan nama orang :D*, terus kita potong kuku sambil ngobrol-ngobrol. Hihihi. Dan selesai potong kuku, sesuai janji, saya kasih tangan dan kakinya body butter.

Nah, ga lama abis acara 'manicure' itu, pas saya lagi nenein Rafa, tiba-tiba Aisyah minta dikutekin. Saya minta tunggu sebentar soalnya masih nenein Rafa. Tapi ga sabar gitu anaknya dan mulai berisik, akhirnya dengan posisi ajaib sambil nyusuin Rafa saya sukses ngutekin ke-10 jari tangan Aisyah.



Kuteknya agak beleberan, sih *lah posisinya sambil tiduran*, tapi no worries. Soalnya saya pake Piggy Paint (Aisyah pake warna Ice Cream Dream). Itu kutek buat anak-anak gitu. Dia water based, jadi ga beracun dan ga bau menyengat. Bersihinnya juga dia ngeletek sendiri. Dan kutek yang nempel di kulit bisa dicuci bersih pakai air.

Jadi emang, ya, emak-emak itu harus kreatif. Pendekatan 'ngajak main' jauh lebih efektif daripada pendekatan 'nyuruh-nyuruh' atau 'ngancem'. Tapi ya itu dia, pendekatan 'ngajak main' emang butuh kesabaran tinggi. Ide kreatif buat ngajak Aisyah belajar/melakukan sesuatu sih banyak, tapi kesabarannya itu yang masih harus di drill. Heheh.


*foto diambil dari website Piggy Paint

Melihat Lebih Dekat: Prolog

by | | 0 comments
Apa yang saya rasakan beberapa tahun kebelakang kalau lagi jalan-jalan di kota Bandung tercinta ini? Ngeri.

Saya lihat berbagai penampakan yang begitu menakutkan, dan saya bisa menebak kemana arahnya si penampakan ini.Penampakan yang membuat saya mengernyitkan alis saat melihatnya, tapi tak bisa pula saya sembunyikan pandangan mata darinya.

Saya punya indra keenam yang aktif? InsyaAllah tidak. Penampakan-penampakan ini bisa dilihat dengan mata telanjang, kok. Hanya saja memang perlu menggunakan mata hati juga kalau ingin memahami kengerian yang ada dibalik penampakan-penampakan tersebut.

Lihatlah hotel-hotel yang semakin menjamur. Lihatlah mall yang katanya akan terus bertambah. Lihatlah perumahan-perumahan yang mengancam persediaan air tanah. Lihatlah menara-menara apartemen yang dibangun di lahan yang bukan peruntukannya. Sudahlah bangunannya yang tidak menambah keindahan kota ini, malahan membuatnya jadi berantakan, pun lihatlah efeknya pada lingkungan dan masa depan Bandung. Mengerikan.

Lebih mengerikan lagi, bahwa saya (mudah-mudahan saya tidak sendiri), tidak mengerti untuk siapa hotel, mall, apartemen, dan perumahan mewah itu dibangun. Saya yakin, orang Bandung yang benar-benar menikmati fasilitas-fasilitas tersebut tak banyak. Menambah pemasukan bagi kota Bandung? Oya? Masa sih?

Sejujurnya saya sih sudah muak dengan macet di akhir pekan. Tapi mungkin akan sedikit terobati kalau dari hasil macet itu bisa dinikmati orang Bandung. Jalan mulus se Bandung Raya, misalnya.

Pun dengan masalah lingkungan. Banjir, persediaan air tanah, hutan kota yang mau dibikin mall (sinting! --excuse my french), sampah yang terus menggunung, dkk. Itu serem banget. Saya nggak mikirin nasib saya sekarang. Tapi mikirin nasib si Aisyah dan Rafa,dan semua anak-anak yang kelak akan terus tinggal dan meneruskan kehidupan.

Tentu kacau balaunya Bandung yang dulunya Parijs Van Java ini bukan cuma kesalahan pengembang jahat dan mereka yang rakus. Tapi juga kesalahan kita yang - mungkin - pada awalnya kurang begitu jeli dan paham kemana pembangunan (penghancuran?) Bandung ini akan dibawa.

Dan pastinya macet, sampah,korupsi, kriminalitas, itu cuma secuil masalah di permukaan saja. Masih banyak masalah mendasar yang kadang tidak kita sadari.

Lalu bisakah Parijs Van Java bukan sekedar jadi merk mall di Sukajadi, tapi kembali menjadi julukan bagi Bandung? Mungkin.

Mungkin bisa. Kalau kita mau melihat lebih dekat, apa yang sedang terjadi.

(bersambung^)



^insyaAllah pasti saya sambung, tapi nggak janji kapan. Karena draftnya ada disini *tunjuk kepala* tapi cari waktu buat nulisnya yang agak ribet