Yang hilang dari OSPEK

by | |
DISCLAIMER: postingan ini ditulis jam 1 pagi. Mohon maaf kalau ada kalimat atau kata-kata yang agak aneh penempatannya :D.


OSPEK, apa masih perlu? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu tergantung tujuan dari diadakannya OSPEK itu sendiri. Bukan tujuan yang tertulis saja, tapi juga yang tertanam di hati para kakak-kakak senior panitia OSPEK.

Kalau tujuannya untuk gagah-gagahan, ngerjain anak baru, menunjukan senioritas dengan siksaan fisik dan psikis, apalagi untuk melecehkan (juga secara fisik dan psikis) mahasiswa baru, tentu ga perlu lagilah ada OSPEK di muka bumi ini.

Tapi kalau tujuannya untuk menyiapkan mahasiswa baru untuk menghadapi dunia kampus dan dunia kerja kelak, masih bolehlah OSPEK diadakan. Tentunya dengan mengeliminasi siksaan fisik dan psikis berlebihan* di acara OSPEK. (*notice that 'siksaan' dan 'berlebihan' sifatnya relatif)

Saya setuju bahwa OSPEK yang baik dan benar bisa menghasilkan kampus (minimal angkatan) yang solid dan mahasiswa yang tangguh. Meskipun, tentu OSPEK hanya salah satu faktor yang bisa menghasilkan kekompakan dan ketangguhan, dan bukan syarat mutlak untuk itu. (Saya dulu berkuliah di kampus yang tidak mewajibkan OSPEK, pun saya tidak ikut OSPEK, tapi kami cukup solid and my university years was cool - socially and academically).

Acara OSPEK memang menjanjikan kekompakan dalam senang apalagi susah. Bagaimana tidak, hampir setiap hari (bahkan selama setahun pertama untuk para calon engineers!), senior mengawasi adik-adik barunya. Yang salah satu orang, yang kena seangkatan. Acara OSPEK juga hampir pasti melahirkan mahasiswa baru yang tangguh. Karena tak cukup hanya bergelut dengan tugas dari dosen (di dunia akademis yang sama sekali baru dan berbeda dari SMA), mahasiswa baru juga harus mampu memenuhi tugas dari para senior. Dan yang paling terasa adalah, OSPEK memunculkan rasa bangga dan rasa cinta terhadap kampus. Tentu saja, selama masa OSPEK hampir setiap saat mahasiswa baru disuguhi success story almamater, para senior, para dosen, dan para alumni. Dan pada beberapa kasus, OSPEK juga berbonus jodoh. Minimal college sweet heart, lah.

Secara pribadi, saya mengamini OSPEK (sekali lagi, yang tanpa siksaan fisik dan mental yang berlebihan) bisa menghasilkan banyak hal positif untuk para mahasiswa baru. Hal-hal positif yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola pikir dan cara pandang si mahasiswa baru. Bahkan sampai dia sudah bukan mahasiswa baru lagi. Bahkan sampai dia sudah lulus dan terjun ke masyarakat. Otomatis, ini juga akan berpengaruh pada kualitas lulusan yang pastinya mengangkat (atau menjatuhkan) nama almamater. Dan banyak perguruan tinggi (berkualitas) yang sudah membuktikan keampuhan OSPEK ini.

Tapi ada satu hal yang saya rasa, terlupakan oleh panitia dan pembimbing OSPEK. Karena 'hasil' OSPEK ini akan berpengaruh sampai kelak, mestinya yang ditanamkan pada mahasiswa baru bukan cuma 'sebagai mahasiswa kampus anu saya harus tangguh, cerdas, visioner, and the blahblah' atau sekedar kebanggaan pada almamater.

Justru (IMHO!) yang paling penting ditanamkan dalam OSPEK adalah, 'sebagai mahasiswa kampus anu yang tangguh, cerdas, dan sangat bangga pada almamater, saya harus rendah hati'. Karena mau tak mau, kelak para mahasiswa baru ini akan terjun ke masyarakat, akan berbaur, akan bertemu orang lain yang bukan hanya tidak satu almamater dengan mereka, tapi juga bahkan tidak memiliki cara pandang dan pola pikir yang sama. Pada para mahasiswa baru ini harus ditanamkan bahwa, kelak, dunia nyata yang akan mereka hadapi lebih luas dan lebih heterogen daripada kampus mereka. Mahasiswa baru ini harus diingatkan untuk seperti air, bisa menempatkan diri dan mengukur diri sesuai 'wadah' tempat mereka berada. Tidak perlu membeku, menguap, atau menyublim. Cukup tetap menjadi air yang bisa menyesuaikan diri dengan 'wadah'.

Banyak contoh, alumni perguruan tinggi-perguruan tinggi ternama yang dianggap sombong dan 'tinggi' karena merasa 'paling (top)' dibanding lulusan perguruan tinggi yang kurang ternama. Iya, mereka pandai, mereka brilian, tapi kalau tidak bisa diterima di lingkungan sekitar maka kualitas mereka sebagai manusia akan berkurang. Yang paling gawat adalah mereka yang tahu bahwa mereka congkak, tapi merasa berhak untuk congkak karena mereka cerdas. I have the right to become a bitch because I am brilliant. Di lingkungan yang homogen, ungkapan dan perilaku itu mungkin 'lucu'. Tapi di lingkungan yang heterogen, bisa-bisa orang seperti ini tidak mendapat tempat, dan tidak dihormati.

Jadi, ternyata mendidik mahasiswa baru untuk siap mengahadapi hidup ini tidak sederhana. Tidak cukup hanya dengan membangun kecerdasan dan membentuk kepercayaan diri, tapi juga menanamkan kerendahan hati. Dan ini menjadi salah satu PR untuk penyelenggaraan OSPEK yang sukses.

0 comments:

Post a Comment