PE ER

by | | 0 comments
Semenjak jadi Ibu, yang selalu menjadi semacam ‘tugas prioritas’ buat saya adalah pendidikan untuk Aisyah. Kenapa bukan mencukupi gizi dan mencukupi kebutuhan materi? Karena kedua hal itu buat saya nggak terlalu susah. Bukan, bukan karena saya kaya raya luar biasa, karena kami memang tidak (belum) kaya raya. Tapi karena kedua hal tersebut berhubungan langsung dengan rejeki, yang mana masing-masing orang sudah diatur rejekinya sama Allah SWT. Rejeki Aisyah, masih menjadi tanggung jawab kami sebagai orang tua untuk mengaturnya, memang. Tapi selama kami mau berusaha menjemput rejeki tersebut, insyaAllah akan tercukupi.

Sementara soal pendidikan ini adalah soal yang lebih tricky. Bukan cuma soal menjemput rejeki, karena pendidikan yang saya maksudkan bukan cuma
memilih sekolah terbaik untuk Aisyah, tapi juga soal mendidik diri sendiri. Maksudnya mendidik diri sendiri adalah, kalau kita menginginkan anak yang shalehah tentu kita pun harus menjadi orang yang shaleh/shalehah, kalau ingin anak yang penyabar tentu kita pun harus jadi orang yang penyabar, kalau ingin punya anak pandai tentu kita pun tak boleh kalah cerdas, kalau ingin punya anak pemurah tentu kita tidak boleh pelit, dst. Yang susah, bukan mengajarkan anak untuk jadi shaleh, sabar, baik hati, dan tidak sombong. Tapi mempersiapkan diri kita untuk menjadi orang yang lebih taat beribadah, lebih sabar, lebih baik hati, dan lebih rendah hati. Karena pendidikan anak soal budi pekerti dan agma, tentu tidak akan optimal kalau kita hanya bicara dan memberi tahu tanpa memberi contoh. Terasa oleh saya yang mood swing nya luar biasa ini, sangat sulit ketika mencontohkan ‘sabar’ pada Aisyah. Tapi alhamdulillah si suami adalah orang yang stok sabarnya berlimpah, sehingga Aisyah bisa belajar sabar dari bapaknya. Yes, salah satu cara untuk meringankan ‘beban’ pendidikan anak adalah dengan berbagi tugas. Tentu kita juga nggak bisa mengubah diri at once. Misalnya sehari-harinya malas, pas punya anak jadi rajin banget. Untuk itu peran ayah dan ibu bisa saling melengkapi. Karena si suami suka malas, eh, lupa menaruh barang di tempat semula, maka sayalah yang bertugas lebih giat mengingatkan dan mencontohkan Aisyah untuk beres-beres sehabis bermain dan mengembalikan barang-barang ke tempatnya atau ke pemiliknya.

Hal lain yang saya takutkan ketika mendidik anak adalah menjadi orang tua yang ‘buta’. Dalam arti, hanya melihat anak dari sisi kita sebagai orang tua, dan tidak melihat dari sisi orang lain. Apalagi Aisyah dari pihak keluarga saya adalah cucu pertama. Cucu pertama kadang rawan menjadikan orang tuanya buta. Di rumah, untuk ayah ibu dan kakek neneknya, mungkin si anak ini lucu, pandai, nggak ada celanya. Tapi siapa tau, ketika berhadapan dengan orang lain, karena terbiasa segala maunya dipenuhi, dia menjadi anak yang egois. Dan kita sebagai orang tua tidak menyadari hal ini karena kita hanya melihat si anak sebagai ‘anak kita’. Siapa tau apa yang buat kita ‘biasa’ anak lakukan di rumah, buat orang lain tidak biasa. Dan kita tidak mau peduli soal itu, karena kita berpegang pada ‘seperti itulah anak saya dibesarkan, dengan cara terbaik menurut kami’. Saya paling takut jadi orang tua semacam itu. Karena efeknya bukan hanya pada orang tua, tapi justru berdampak besar pada psikologis si anak. Saya paling takut kalau anak saya jadi orang yang egois, yang tidak mau mendengar kata orang. Naudzubillahimindzaliik. Tapi tidak menjadi orang tua yang buta pun cukup rumit. Saya juga takut jadi terlalu keras pada Aisyah. Terlalu menuntutnya untuk ‘menyenangkan semua orang’. Saya juga kan ga mau Aisyah gedenya jadi kaya Om Beye *ketok meja sejuta kali*.

Mendidik anak adalah neverending process buat orang tua. Meskipun kelak si anak sudah menikah dan terpisah dari orang tua, tanggung jawab untuk melihat kehidupan yang lebih baik bagi anaknya pasti akan selalu ada, meskipun sebenarnya ketika sudah menikah tanggung jawab itu sudah terlepas. Makanya dalam mendidik anak saya juga terus belajar. Bukan cuma dari belajar dari bacaan, tapi juga belajar dari keempat orang tua saya. Saya biasanya mengingat-ingat bagaimana Mami dan Papap saya memperlakukan saya ketika masih kecil. Yang cocok, bisa saya terapkan, yang tidak cocok ya jangan dipaksakan.

Anyway, nggak ada yang bilang mendidik anak itu gampang. Bahkan Kak Seto pun pasti sering menghadapi kesulitan dalam menghadapi anak-anak *untung ada si Komo yang membantu*. Tapi tentu setiap orang tua akan mengusahakan yang terbaik, banyak berdoa dan banyak belajar. Mari kita berdoa bersama agar kita menjadi orang tua sukses yang melahirkan anak-anak yang gemilang. Merdeka!Amin :).

Aisyah Makin Pandai, Mamski (harus) Makin Sabar :)..

by | | 0 comments
Baru setengah hari, Aisyah udah bikin berbagai kehebohan. Jadi, pas Mamski lagi makan tadi, Aisyah kepingin ikutan makan. Karena nggak mau disuapin, ya udah Mamski biarin Aisyah makan pake tangan. Maknnya nasi sama tumis jagung muda dan brokoli. Jadi kita makan sepiring berdua gitu, deh. Tapi lama kelamaan, entah karena udah kenyang atau ingin bereksperimen, tiba-tiba si nasi di piring didorong ke kanan-kiri sama Aisyah. Yang mengakibatkan nasi tumpah lah kemana-mana. Mamski terpaksa berehenti makan demi membereskan nasi-nasi yang bertebaran. Tau sendirikan beresin nasi itu malesin, karena lengket kemana-mana dan kalo keinjek susah bersihinya.

Kelar makan, mamski bawa setoples biskuit bawang, niatnya mau dimakan bareng. Tapi karena Mamski tergoda untuk ngegadoin supermi, Aisyah pun dibiarkan makan sendiri. Meleng sedikit, ternayat si toples udah ditumpahin aja dong. Dan biskuitnya bertebaran di atas karpet. Untung superminya udah abis, jadi bskuit yang tumpah itu Mamski masukin ke plastik bekas mie nya. Kali ini Mamski puji Aisyah karena Aisyah bantu Mamski masukin biskuit ke plastik. Etapi Mamski jangan senang dulu *kata Aisyah dalam hati*, karena begitu kelar masukin semua biskuit tumpah ke dalam plastik, plastiknya ditumpahin lagi dong sama Aisyah. Dengan muka lempeng tak berdosa tentunya. Hhhhhh.

Akhirnya Mamski beresin sendiri tumpahan biskuit dan langsung ambil sapu. Aisyah dasarnya emang seneng bantu *meskipun kadang-kadang malah tambah bikin repot* dan seneng nyapu. Makanya pas liat Mamski bawa sapu, dia langsung semangat mau ambil alih sapunya. Tapi berhubung messy banget dan harus cepat dibersihkan sebelum karpet diserbu pasukan semut, Mamski meminta Aisyah duduk aja. Entah karena jail atau bener-bener pengen bantu Mamski, bolak-balik Aisyah nyamperin Mamski dan bolak-balik pula Mamski gendong Aisyah menjauh dari sampah yang sedang disapu. Akhirnya Mamski berhasil mengalihkan perhatian Aisyah dengan mengajaknya ke tempat jemuran dan meminta Aisyah nunggu Mamski disitu. Tapi pegalihan perhatian itu ga berlangsung lama. Aisyah kembali mendekati Mamski dan sambil nyengir dia.. Menginjak sampah yang sudah Mamski sapu dan sukses menebarkannya kesana kemari.

Aisyah. I love you.

Epilog:
Alhamdulillah Mamski berhasil menyapu bersih semua sampah. Dan si Pice Cah sekarang lagi tidur siang dengan tenang. Demikianlah.