Weary

by | | 0 comments
Because you only see what your eyes want to see.


So now I remember how does it feels to be brokenhearted, again.

Tiba-tiba...

by | | 0 comments
Ah, bertemu teman-teman sehobby memang bikin hati senang. More stories to come about this community I recently joined. But for now...

Tiba-tiba pengen benerin mesin jahit yang sudah bertahun-tahun tak terurus. Punya nenekku. And it's a Singer! Heyho lesgo. Mari mulai (belajar) menggenjot!


Sekolah Aisyah :)

by | | 1 comments
Seperti saya sebutkan di postingan sebelumnya, proses mencari dan memilih sekolah buat si cikal Aisyah tidaklah sederhana. Sebenarnya bahkan proses pencarian sekolah ini sudah berlangsung sejak si bocah berusia 2 tahun. Tapi karena satu dan lain hal, maka Aisyah baru saya dan suami masukan sekolah di usia TK.
Dan kami memilih sebuah sekolah montessori Islami, yang sampai saat postingan ini ditulis, sekolah Aisyah ini masih satu-satunya sekolah Islami yang menggunakan sistem montessori.

Sekolah Aisyah yang jaraknya tidak dekat dari rumah (kalau nggak mau dibilang agak jauh) ini, memang mengundang banyak pertanyaan. Terutama dari kakek neneknya dan tante-tante saya dan suami. Kenapa jauh sekali? Aisyah ga kecapean? Kenapa ga cari yang dekat rumah? Pulang perginya gimana? Dan pertanyaan lainnya yang sampai saat ini masih sering muncul. Memang sih untuk seusia TK, perjalanan rumah-sekolah yang memakan waktu 20 menit naik motor kalau lancar atau 30 menit naik angkot tanpa macet dan ngetem, terhitung jauh. Dan kadang melelahkan buat saya, apalagi kalau ditambah Aisyah rewel di jalan karena ngantuk atau kepanasan di angkot. Tapi tentu saya dan suami tidak gegabah dalam memilih sekolah ini sebagai sekolah pertama Aisyah. Ada beberapa alasan kuat yang menjadi dasar mengapa sekolah ini begitu menarik buat kami.

Pertama, dan yang paling penting, Aisyah suka dan betah bersekolah disini. Sebelum sekolah di sini, bocah pernah trial di beberapa sekolah. Tapi cuma disinilah pas trial hari pertama Aisyah langsung mau masuk kelas tanpa drama dan langsung nempel sama gurunya (yang dipanggil Bunda). Pas trial pun saya dan Bundanya tanya, Aisyah jauh ga sekolahnya? Cape nggak? Dia jawab nggak. Dan pas saya tanya mau sekolah di sini apa nggak? Dengan mantap dia menjawab 'Iya'. Sampai hari ini, belum (dan jangan sampai - aamiin) ada drama berarti dalam kehidupan sekolah Aisyah. Paling cuma kalau pagi baru datang biasanya dia agak 'melempem'. Belum panas, mungkin. Tapi pas waktunya masuk kelas dia mau masuk kelas dan selalu pulang dalam keadaan ceria.

Kedua, sistem pendidikan yang ditawarkan. Dari dulu, saya memang tertarik sama sistem pendidikan Montessori. In brief, sistem ini lebih mengajarkan anak life skill untuk survive dan mau belajar terus dibanding skill membaca atau berhitung. Sekolah ini tidak memaksa anak untuk duduk dan memperhatikan guru, tapi membiarkan anak untuk bereksplorasi (dengan diawasi Bundanya tentu). Belajarnya pun dengan cara bermain, mulai dari masak-masakan dampai make up-make up an ada. Dan si Bocah yang cewek banget ini bahagia sekali, tentunya. Hebatnya, biasanya sekolah yang menerapkan sistem Montessori biayanya selangit. Nah di sekolah Aisyah ini biayanya masih reasonable.

Itulah yang jadi alasan ketiga kenapa saya dan bapaknya Aisyah memilih sekolah ini. Dengan sistem dan fasilitas yang ditawarkan (selain alat belajar yang lengkap, bangunan sekolah yang homey dan nyaman, dan acara berenang, sekolah ini juga punya halaman rumput yang luas dan aman karena berpagar tinggi), biaya sekolahnya ga bikin megap-megap. Tidak murah memang, tapi dibanding sekolah sekelas ini, biayanya masih lebih terjangkau.

Alasan keempat, yang ga ada hubungannya sama sistem pendidikan tapi penting juga adalah, hanya sekali naik angkot kalau pulang ke rumah. Penting, karena meskipun tidak dekat, tapi minimal ga naik turun angkot. Jadi sepanjang perjalanan Aisyah bisa tidur dan nggak ribet gonta-ganti angkot. Apalagi Aisyah punya teman-teman pulang bareng yang sama-sama naik angkot yang sama. Jadi di jalan dia nggak bosan.

Sekarang, setelah beberapa bulan menyekolahkan Aisyah di sini, saya makin bersyukur. karena meskipun Aisyah belum bisa baca tulis (saya nggak khawatir karena memang belum waktunya juga), tapi terlihat beberapa perubahan yang positif. Aisyah sekarang lebih berani speak up kalau dia nggak suka sesuatu, berani kenalan duluan - minimal senyum duluan - saat ketemu anak lain yang baru dia kenal, dan lebih bertanggung jawab. Setiap habis main, saya nggak perlu lagi narik otot buat minta dia beresin. Hampir otomatis dia langsung beres-beres, minimal hanya perlu saya ingatkan sekali dua kali. Habis makan pun dia selalu bawa piring kotornya ke wastafel, dan sesekali mencuci sendiri piringnya. Secara personal, Aisyah sekarang lebih terbuka dibanding sebelum bersekolah.

Saya juga senang melihat interaksi Bunda-bunda dengan murid-muridnya. Bunda-bunda selalu tersenyum dan tidak pernah ketus, meskipun kelakuan murid-muridnya kadang ajaib banget. Bunda-bunda juga selalu open untuk konsultansi mengenai perkembangan Aisyah. Acara-acara hari besar nasional pun dirayakan dengan cara yang menyenangkan. Kemarin pas 17an, ada acara aneka perlombaan. Tapi tidak ada hadiah untuk pemenang. Semua murid adalah pemenang karena sudah mau mencoba dan berusaha. Satu lagi asyiknya, sebulan sekali ada parenting class bersama Bunda dan psikolog, gratis. Plus orang tua murid disini akrab satu sama lain. Saya bahkan punya teman-teman sarapan baru :D.

Alhamdulillah cita-cita saya (dan suami) buat menyekolahkan anak di tempat yang bikin anak senang dan emak bapak tenang insyaAllah tercapai. Dan tentunya kami berdoa, Aisyah (dan Rafa kelak) akan selalu menikmati bersekolah dan ingin belajar terus. Semoga sekolah pertama Aisyah ini bisa menjadi pondasi untuk menguatkan niat belajar Aisyah sampai kapanpun. Aamiin.

Analytical Parenting

by | | 0 comments
Disclaimer: don't be fooled by the title. This post is merely curhat as usual.

Orang tua jaman sekarang memang berbeda dengan orang tua jaman dulu, terutama dalam pola didik dan pola asuh. Minimal, saya merasa pola didik dan pola asuh saya berbeda dengan orang tua saya.
Thanks to the internet, orang tua jaman sekarang bisa dengan gampang mengakses teori-teori dan perkembangan terbaru dari dunia pendidikan dan pertumbuhan anak. Ini bikin orang tua sekarang terlihat lebih involve dalam perkembangan dan pendidikan anak.
Bukannya dulu orang tua membiarkan anaknya tumbuh sendiri macem toge sih, tapi kelihatan aja sekarang banyak orang tua baru yang lebih kritis dan lebih terlibat.

Contohnya dalam hal sekolahan. Sadar ga sih kalau orang tua angkatan mama papa kita kalau milih TK buat anaknya biasanya kriteria utamanya adalah deket rumah. Ga terlalu mikirin sistemnya gimana, atau cara interaksi guru dan muridnya gimana. Sementara orang tua jaman sekarang biasanya browsing dulu di internet sampe mabok, terus survey lokasi sampe mabok, lalu trial,sampe,mabok, dan akhirnya daftar setelah menyingkirkan sekolah yg sistemnya (dianggap) kurang oke, interaksi guru-muridnya dianggap kurang cocok, dan biayanya ga bikin mabok. Agak jauh dari rumah nggak apa-apa, asal anak senang, ortu tenang. Contoh orang tua seperti ini adalah saya.

Ga berenti sampai situ, karena terbiasa terpapar dengan banyak informasi soal pendidikan dan perkembangan anak, orang tua jaman sekarang pun terbiasa menganalisa tingkah laku anaknya. Contoh ya, kalau orang tua jaman dulu anak lakinya doyan berantem, ga terlalu khawatir. Karena mereka percaya, ya memang begitulah anak lelaki. Atau anak perempuannya cengeng, ga risau juga. Karena percaya, anak perempuan sensitif itu wajar adanya. Beda sama orang tua jaman sekarang. Setelah satu bulan sekolah anaknya masih susah berteman, khawatir anaknya kuper. Anaknya sering mimpi dan kebangun di malam hari, risau anaknya memendam sesuatu. Dan biasanya langsung car referensi dari internet, atau tanya guru/ahli perkembangan anak. Contoh orang tua jaman sekarang yang seperti ini adalah saya.

Mungkin ya, kekhawatiran dan kerisauan yang muncul ini selain karena berbagai info sana-sini, pun karena ada keinginan sang anak tidak tumbuh kuper seperti emaknya dan tidak inntrovert seperti emaknya. Banyak analisa yang saya lakukan soal perkembangan anak-anak saya dikala saya lagi bengong senggang. Biar keren, saya menyebut ini sebagai analytical parenting. Ya asal jangan kebanyakan analisa tapi ga ada action juga, sik.

Nah anyway, saat ini saya sedang menganalisa kelakuan baru si bocah cewek. Awal-awal sekolah dia mau aja ditinggal dan langsung nempel sama gurunya pas baru dateng. Tapi sekarang kenapa ya kalau saya antar sekolah dia pasti nempel terus sama saya dan ga mau lepas sampai bel masuk plus harus saya antar sampai pintu kelas?

Udah dibilangin, kan, ini cuma curhat.

Waiting for The Sun to Shine

by | | 0 comments
Some decisions are not for us to make. Even if it's affecting our life, our very personal life. Even if our sanity is at stake. Even if it's been going on repeatedly and clearly stated.

The truth is, to someone, we're not that important. No matter how much we try to say and do, we're probably just a bunch of 'can do later, but not now'. Because for someone, a lot of more important things are happening. But not our life. And perhaps, will never be.

What's left to do now is try to stand tall, stand firm on our own feet. Build our own future and not to let our life ruined. Because we're waiting for too long and don't know how much longer we will have to wait, because we don't know how much longer can we stand being like this.

Now, the question is, will you take my hand and throw your hestitation away?

Things That Get to My Nerve

by | | 0 comments
I can be annoyed by some kinds of people. But among all, here are the top list of people who annoys me the most.

Careless people. Especially those who doesn't bother to put things back on it's place, or let everything lying around without any clue when they will tidying up. People who doesn't bother to take good care of their own stuff and other people stuff (MY stuff especially).

People who easily share cups, spoon, and even toothbrush (eeeww - I KNOW!). I grew up taught NOT to share cups or spoon (sikat gigi mah sudah barang pasti yah) for hygienic reason. Even if it's with my own parents or sibling. So at home, if I found my used cup/ glass/ mug on suspicious condition (eg. moving place), I'd rather put ini in the sink and take a new one.

Those are two types of people that often gives me headache. Just two, but may cost me serious mental disturbance :p.

Anyway, if you get really annoys with people who's grammatically ill, you might don't want to read this post at the first place.

Mimpi-mimpi Luar Negeri

by | | 0 comments
I used to believe that I have wings to fly around the world.

Acara beberes dalam rangka pindahan beberapa minggu kemarin menguak banyak hal dari taun-taun saya kebelakang. Salah satunya adalah tumpukan prospektus program master beberapa perguruan tinggi di luar negeri. Ternyata mimpi saya buat ambil master di luar negeri pernah sebesar itu. Sekolah dan tinggal di luar negeri adalah satu dari banyak mimpi yang saya hampir lupa.

Pikiran saya lalu terseret lebih jauh lagi ke masa kecil. Ternyata dari kecil saya memang sudah ingin ke luar negeri. Kalau waktu kecil, tentu cita-citanya adalah untuk berlibur. Saya kemudian teringat, kalau saya pernah berikrar akan ke Maroko sebelum saya menikah. Tapi belum kesampaian. Dan mimpi berlibur ke luar negeri - yang buat sebagian orang mungkin kegiatan sehari-hari - sudah perlahan saya lupakan.

Apa yang membuat saya (tak sengaja) melupakan mimpi-mimpi luar negeri saya? Saya rasa turning point yang paling mempengaruhi adalah menikah dan punya anak. Sejak berumah tangga, pikiran dan tubuh saya lebih domesticated. Jangankan memikirkan sekolah lagi, kerja kantoran saja sudah tidak mau. Saya berfikir, sayang, waktu yang sekian banyak saya habiskan di luar lebih baik untuk mengurus dan menyaksikan anak-anak bertumbuh.

Liburan ke luar negeri tentu masih bisa dilakukan. Hanya pastinya effort untuk menabung harus 4x lipat, karena keluarga kecil kami sekarang berjumlah empat orang. Liburan berdua saja atau pergi sendiri bersama teman-teman? Belum tega meninggalkan bocah-bocah yang masih balita. Tidak tega merepotkan orang rumah dengan menitipkan mereka berhari-hari. Saya ingat, waktu kuliah, saya bersama beberapa teman dekat berikrar akan liburan bersama ke Hong Kong tahun 2010. Tapi itupun belum terwujud. Mungkin karena saat itu rata-rata kami baru menikah dan baru punya bayi. Jadi belum tega untuk pergi bersenang-senang dan berlibur tanpa keluarga.

Bukan, saya bukan menyalahkan pernikahan untuk mimpi-mimpi saya yang terlupakan. Karena saya tidak merasa terpenjara atau terkekang, apalagi merasa terpaksa harus membunuh mimpi-mimpi luar negeri saya. Tapi memang manusia punya satu turning point dalam setiap hidupnya. From an old someone, to a new someone. Perubahan yang bisa menjadi lebih baik, atau menjadi lebih buruk.

Dan mimpi-mimpi luar negeri saya sekarang sudah di pak rapi di dalam kardus coklat. Menunggu untuk diwujudkan, atau sama sekali dilupakan.

Typical Saturday Night

by | | 0 comments
Sebagai emak bapak dengan dua anak balita, jarang sekali malam minggu kami pergi berkencan atau jalan-jalan keluar. Biasanya kami menghabiskan waktu dengan mengobrol tentang isu-isu internasional. Seperti malam ini.

Saya: Pap, ntar nonton Running Man yang episode Kim Jong Il ya?
Suami: Hah? Ada?
Saya: Eh Park Ji Sung maksudnya. Hahaha. Tapi kebayang ya kalau ada episode itu..
Suami: Ya ga mungkin juga, udah meninggal Kim Jong Il nya..
Saya: Kalau anaknya Kim Jong Il siapa namanya?
Suami: Heum? *pasang tampang I-know-where-this-is-going*
Saya: Kim Jong San, hahahah..
Suami: *palmface*
Saya: Kim Jong Il punya kembaran, tauk.. Namanya siapa ayoooooo..
Suami: *pura-pura ga denger*
Saya: Kim Jong Sik, hahahahaha..
Suami: ....

Krik krik krik.