Brownie Pudding: Yummeh!

by | | 0 comments
Dua minggu ini Aisyah libur sekolah. Artinya, dua minggu pula saya nggak perlu anter jemput dia ke sekolah. Yang artinya lagi, saya punya waktu ekstra buat melakukan sesuatu selain bengong dan berkhayal. Maka selama liburan ini saya berniat masak tiap hari. Ya nggak masak-masak serius (kaya nasi tumpeng atau gule kambing), sih, tapi ya minimal sehari saya melakukan sesuatu yang menghasilkan sesuatu yang bisa dimakan. *ini lagi infatuated sama Syahrini apa yak, sesuatu melulu*

Anywayyyy.. Sejak day one Aisyah libur udah mulai masak-masak, sih. Tapi masakannya standar aja. Masakan sehari-hari gitu. Jadi males juga di share di blog. Nah hari ini masaknya, meskipun simpel banget, tapi diluar dugaan rasanya maknyius banget. Jadi bolehlah kita orang share dimari, yes.

Hari ini saya bikin Brownie Pudding. Resepnya saya dapat dari salah satu member Langsung Enak, yaitu sebuah grup di Facebook untuk para penyuka makan dan masak.
Bahan-bahan yang diperlukan buat bikin Brownie Pudding ini murah dan gampang, yaitu...

1 liter susu UHT plain
5 lembar roti tawar, sobek-sobek
2 bungkus agar-agar plain (saya pakai warna coklat)
100 gr dark cooking chocolate, lelehkan (karena ga ada timbangan saya pake 2 blok dcc Colatta dipotong dari kemasan 250 gr)
25 gr coklat bubuk (kan ga ada timbangan, yah, jadi saya pake 2 sdm muncung)
200 gr gula pasir (tadi saya kira-kira aja 5-6 sdm)
1 kuning telur

Cara buatnya juga gampang banget, blender semua bahan sampai tercampur rata, lalu didihkan. Jangan lupa selama dididihkan di api kecil diaduk terus biar ga menggumpal dan nggak mengendap di dasar.


Kalau sudah mendidih, tuangkan ke cetakan puding, terus kalau sudah agak dingin masukan kulkas. Kalau sudah padat, potong-potong dan sajikan. Dikasih vla vanilla lebih enak. Yum!


Untuk vla nya saya pake vla instan. Praktis lah tinggal diseduh air termos (atau air dispenser), aduk-aduk, dan masukin ke kulkas. Oiya, si Brownie puding ini kalau baru sebentar di kulkas teksturnya kaya puding Hoka-Hoka Bento gitu. Tapi kalau agak lamaan, jadi lebih padet dan mirip cake. Cuma kalau soal rasa, enak! Coklat banget dan lembut dilidah... Bakalan jadi menu andalan buat cemilan nih. Bahannya gampang, bikinnya cepet, rasanya enak, dan ga pake ribet. Nyiussss!

by | | 0 comments


I once believe that it is real. Now diary is merely a myth.

Yang hilang dari OSPEK

by | | 0 comments
DISCLAIMER: postingan ini ditulis jam 1 pagi. Mohon maaf kalau ada kalimat atau kata-kata yang agak aneh penempatannya :D.


OSPEK, apa masih perlu? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu tergantung tujuan dari diadakannya OSPEK itu sendiri. Bukan tujuan yang tertulis saja, tapi juga yang tertanam di hati para kakak-kakak senior panitia OSPEK.

Kalau tujuannya untuk gagah-gagahan, ngerjain anak baru, menunjukan senioritas dengan siksaan fisik dan psikis, apalagi untuk melecehkan (juga secara fisik dan psikis) mahasiswa baru, tentu ga perlu lagilah ada OSPEK di muka bumi ini.

Tapi kalau tujuannya untuk menyiapkan mahasiswa baru untuk menghadapi dunia kampus dan dunia kerja kelak, masih bolehlah OSPEK diadakan. Tentunya dengan mengeliminasi siksaan fisik dan psikis berlebihan* di acara OSPEK. (*notice that 'siksaan' dan 'berlebihan' sifatnya relatif)

Saya setuju bahwa OSPEK yang baik dan benar bisa menghasilkan kampus (minimal angkatan) yang solid dan mahasiswa yang tangguh. Meskipun, tentu OSPEK hanya salah satu faktor yang bisa menghasilkan kekompakan dan ketangguhan, dan bukan syarat mutlak untuk itu. (Saya dulu berkuliah di kampus yang tidak mewajibkan OSPEK, pun saya tidak ikut OSPEK, tapi kami cukup solid and my university years was cool - socially and academically).

Acara OSPEK memang menjanjikan kekompakan dalam senang apalagi susah. Bagaimana tidak, hampir setiap hari (bahkan selama setahun pertama untuk para calon engineers!), senior mengawasi adik-adik barunya. Yang salah satu orang, yang kena seangkatan. Acara OSPEK juga hampir pasti melahirkan mahasiswa baru yang tangguh. Karena tak cukup hanya bergelut dengan tugas dari dosen (di dunia akademis yang sama sekali baru dan berbeda dari SMA), mahasiswa baru juga harus mampu memenuhi tugas dari para senior. Dan yang paling terasa adalah, OSPEK memunculkan rasa bangga dan rasa cinta terhadap kampus. Tentu saja, selama masa OSPEK hampir setiap saat mahasiswa baru disuguhi success story almamater, para senior, para dosen, dan para alumni. Dan pada beberapa kasus, OSPEK juga berbonus jodoh. Minimal college sweet heart, lah.

Secara pribadi, saya mengamini OSPEK (sekali lagi, yang tanpa siksaan fisik dan mental yang berlebihan) bisa menghasilkan banyak hal positif untuk para mahasiswa baru. Hal-hal positif yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola pikir dan cara pandang si mahasiswa baru. Bahkan sampai dia sudah bukan mahasiswa baru lagi. Bahkan sampai dia sudah lulus dan terjun ke masyarakat. Otomatis, ini juga akan berpengaruh pada kualitas lulusan yang pastinya mengangkat (atau menjatuhkan) nama almamater. Dan banyak perguruan tinggi (berkualitas) yang sudah membuktikan keampuhan OSPEK ini.

Tapi ada satu hal yang saya rasa, terlupakan oleh panitia dan pembimbing OSPEK. Karena 'hasil' OSPEK ini akan berpengaruh sampai kelak, mestinya yang ditanamkan pada mahasiswa baru bukan cuma 'sebagai mahasiswa kampus anu saya harus tangguh, cerdas, visioner, and the blahblah' atau sekedar kebanggaan pada almamater.

Justru (IMHO!) yang paling penting ditanamkan dalam OSPEK adalah, 'sebagai mahasiswa kampus anu yang tangguh, cerdas, dan sangat bangga pada almamater, saya harus rendah hati'. Karena mau tak mau, kelak para mahasiswa baru ini akan terjun ke masyarakat, akan berbaur, akan bertemu orang lain yang bukan hanya tidak satu almamater dengan mereka, tapi juga bahkan tidak memiliki cara pandang dan pola pikir yang sama. Pada para mahasiswa baru ini harus ditanamkan bahwa, kelak, dunia nyata yang akan mereka hadapi lebih luas dan lebih heterogen daripada kampus mereka. Mahasiswa baru ini harus diingatkan untuk seperti air, bisa menempatkan diri dan mengukur diri sesuai 'wadah' tempat mereka berada. Tidak perlu membeku, menguap, atau menyublim. Cukup tetap menjadi air yang bisa menyesuaikan diri dengan 'wadah'.

Banyak contoh, alumni perguruan tinggi-perguruan tinggi ternama yang dianggap sombong dan 'tinggi' karena merasa 'paling (top)' dibanding lulusan perguruan tinggi yang kurang ternama. Iya, mereka pandai, mereka brilian, tapi kalau tidak bisa diterima di lingkungan sekitar maka kualitas mereka sebagai manusia akan berkurang. Yang paling gawat adalah mereka yang tahu bahwa mereka congkak, tapi merasa berhak untuk congkak karena mereka cerdas. I have the right to become a bitch because I am brilliant. Di lingkungan yang homogen, ungkapan dan perilaku itu mungkin 'lucu'. Tapi di lingkungan yang heterogen, bisa-bisa orang seperti ini tidak mendapat tempat, dan tidak dihormati.

Jadi, ternyata mendidik mahasiswa baru untuk siap mengahadapi hidup ini tidak sederhana. Tidak cukup hanya dengan membangun kecerdasan dan membentuk kepercayaan diri, tapi juga menanamkan kerendahan hati. Dan ini menjadi salah satu PR untuk penyelenggaraan OSPEK yang sukses.