I used to believe that I have wings to fly around the world.
Acara beberes dalam rangka pindahan beberapa minggu kemarin menguak banyak hal dari taun-taun saya kebelakang. Salah satunya adalah tumpukan prospektus program master beberapa perguruan tinggi di luar negeri. Ternyata mimpi saya buat ambil master di luar negeri pernah sebesar itu. Sekolah dan tinggal di luar negeri adalah satu dari banyak mimpi yang saya hampir lupa.
Pikiran saya lalu terseret lebih jauh lagi ke masa kecil. Ternyata dari kecil saya memang sudah ingin ke luar negeri. Kalau waktu kecil, tentu cita-citanya adalah untuk berlibur. Saya kemudian teringat, kalau saya pernah berikrar akan ke Maroko sebelum saya menikah. Tapi belum kesampaian. Dan mimpi berlibur ke luar negeri - yang buat sebagian orang mungkin kegiatan sehari-hari - sudah perlahan saya lupakan.
Apa yang membuat saya (tak sengaja) melupakan mimpi-mimpi luar negeri saya? Saya rasa turning point yang paling mempengaruhi adalah menikah dan punya anak. Sejak berumah tangga, pikiran dan tubuh saya lebih domesticated. Jangankan memikirkan sekolah lagi, kerja kantoran saja sudah tidak mau. Saya berfikir, sayang, waktu yang sekian banyak saya habiskan di luar lebih baik untuk mengurus dan menyaksikan anak-anak bertumbuh.
Liburan ke luar negeri tentu masih bisa dilakukan. Hanya pastinya effort untuk menabung harus 4x lipat, karena keluarga kecil kami sekarang berjumlah empat orang. Liburan berdua saja atau pergi sendiri bersama teman-teman? Belum tega meninggalkan bocah-bocah yang masih balita. Tidak tega merepotkan orang rumah dengan menitipkan mereka berhari-hari. Saya ingat, waktu kuliah, saya bersama beberapa teman dekat berikrar akan liburan bersama ke Hong Kong tahun 2010. Tapi itupun belum terwujud. Mungkin karena saat itu rata-rata kami baru menikah dan baru punya bayi. Jadi belum tega untuk pergi bersenang-senang dan berlibur tanpa keluarga.
Bukan, saya bukan menyalahkan pernikahan untuk mimpi-mimpi saya yang terlupakan. Karena saya tidak merasa terpenjara atau terkekang, apalagi merasa terpaksa harus membunuh mimpi-mimpi luar negeri saya. Tapi memang manusia punya satu turning point dalam setiap hidupnya. From an old someone, to a new someone. Perubahan yang bisa menjadi lebih baik, atau menjadi lebih buruk.
Dan mimpi-mimpi luar negeri saya sekarang sudah di pak rapi di dalam kardus coklat. Menunggu untuk diwujudkan, atau sama sekali dilupakan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment