Beyond Ayah ASI

by | | 0 comments
Suami saya bukan cuma mensupport saya untuk memberikan ASI sampai anak-anak berusia 2 tahun, suami saya bukan cuma menemani saya begadang saat saya menyusui di malam hari, suami saya bukan cuma membantu menggantikan popok, suami saya bukan cuma betah main berlama-lama dengan anak-anak. He's way beyond that.


Ah belum-belum sudah terharu :').

Semenjak hamil anak pertama, Aisyah, sisuami memang sudah sangat perhatian. Dulu itu pas hamil si Aisyah, saya maboknya cukup parah. Tiga bulan pertama cuma bisa tiduran dan bangkit duduk sesekali. Kalau jalan-jalan sedikit (bahkan cuma ke kamar mandi) bisa langsung muntah. Ditambah lagi, saat itu saya cuma tinggal berdua suami di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, karena sisuami lagi bertugas disana. Tapi dengan jam kerjanya yang kadang nggak kira-kira, dia masih sempat mengurus saya. Pagi sebelum berangkat kerja, saat saya belum bisa bangkit dari kasur, semangkuk sereal dan segelas susu sudah tersedia untuk saya. Karena saya nggak mungkin masak, setiap jam makan siang dia menyempatkan diri pulang dan mambawakan nasi dan lauk pauk untuk makan siang kami berdua. Dan saat waktunya kontrol ke obgyn, dia tidak pernah tidak mengantar saya. Dan kadang lebih cerewet bertanya ini itu pada sang dokter.

Saat saya sudah tidak muntah-muntah, dan kami pulang ke Bandung, perhatiannya tidak berkurang. Apa yang saya perlukan (dan inginkan), mulai dari yang penting dan nggak penting hampir semua dipenuhinya. Kunjungan ke obgyn tetap menjadi saat-saat favorit kami bersama. Dan diamasih lebih cerewet tanya ini itu sama dokternya.

Waktu melahirkan, suami saya santai sekali. Dia menggenggam tangan saya dari mulai saya masih bisa ketawa-ketawa sampai AIsyah lahir dengan selamat. Habis lahiran saya baru sadar kalau bekas kuku saya saat menggenggam tangannya waktu menahan mulas terlihat jelas ditangannya. Tapi dia tidak mengeluh. Dia malah menyemangati saya, mengingatkan saya untuk tidak menutup mata saat mengejan, dan wanti-wanti untuk IMD.

Saat si bayi sudah di rumah, dia tidak sungkan membantu mengganti popok. Hampir selalu menemani saya saat menyusui di malam hari, membetulkan letak bantal, atau sekedar mengusap-usap punggung saya. Yes, he's that sweet.

Seiring bertumbuhnya Aisyah, mendiskusikan apa yang baik dan tidak buat Aisyah menjadi obrolan favorit kami. Dari mulai makanan sampai cara mendidik Aisyah, tidak pernah tidak kami diskusikan. Si suami juga sering mengajak Aisyah shalat berjamaah. Meskipun Aisyah pada awalnya belum bisa mengikuti gerakan shalat, tapi diamemperhatikan. Buktinya, usia 2 tahun lebih alhamdulillah AIsyah sudah hapal Al Fatihah.

Saat hamil anak ke-2, Rafa, adalah masa-masa dimana saya sangat menyadari bahwa sisuami adalah orang yang luar biasa. Seperti saat hamil pertama, tiga bulan pertama saya muntah-muntah. Meskipun tidak separah saat AIsyah. Alhamdulillah masih bisa bekerja sedikit dan jalan-jalan. Tapi tetap energi saya tak cukup buat seharian mengurus Aisyah. Untunglah jadwal kerja suami saya tidak terikat, jadi tugas mengurus mandi pagi, mandi sore, dan sarapan pagi aisyah diambil alih olehnya. Bahkan pernah sekali waktu Aisyah sakit dan bangun semalaman. Suami saya membiarkan saya tidur dan dialah yang begadang menemani Aisyah.

Waktu melahirkan Rafa, sama seperti saat melahirkan Aisyah, suami saya ada di samping saya. Dan tetap cerewet minta ASI Exclusive serta IMD. Setelah Rafa di rumah, sisuami masih konsisten dengan tugas memandikan dan menyuapi Aisyah. Bahkan sesekali mengurus Aisyah saat ingin pipis atau pup. Nilai tambahan, sisuami ikut menggunduli Rafa (bukan cuma putong sedikit, tapi menggunduli) saat akikah. Malam-malam, kami berbagi tugas, kalau Rafa yang bangun saya yang menidurkannya lagi. Kalau Aisyah yang bangun, suami yang menidurkanya lagi.

Benar kata orang bahwa menikah membuat kita melihat semua sifat pasangan kita yang kita tidak tahu saat sebelum menikah. Semenjak kami dekat, sebelum menikah dulu, saya sudah merasa bahwa suami saya adalah orang yang sangat manis dengan perhatian yang luar biasa. Tapi setelah menikah, dan terlebih lagi setelah punya dua anak, tedrnyata perhatiannya dulu itu cuma semacam teaser. Aslinya, perhatian dan rasa sayangnya lebih melimpah buat kami bertiga.

You are indeed not a perfect husband, but you are beyond wonderful. And I always pray I can be your beyond wonderful wife, too. I love you, Papski. We love you :*.

Keeping The Mind Busy

by | | 0 comments
Persoalan menanti si Bibi setelah lebaran memang selalu jadi cerita setiap bulan Syawal. Cerita lama soal repotnya mengurus rumah tanpa si Bibi yang sebenarnya hanya diulang-ulang, tapi selalu jadi bahan obrolan yang tak bosan dibahas.

Tapi bulan Syawal tahun ini ada yang berbeda dari menunggu si Bibi. Tahun ini adalah tahun pertama saya punya Bibi sendiri karena tahun-tahun kemarin masih 'nebeng' si Bibi punya mertua atau Mamah (karena tinggal masih nebeng mertua juga :D). Nah berhubung tahun ini buntut sudah dua, maka dirasa perlu nambah satu bibi khusus untuk mengurusi keperluan keluarga kecil saya. Nggak banyak, sih, cuma cuci setrika dan sesekali ngepel kamar, serta terutama memback-up saya untuk menjaga Aisyah ketika saya sedang sibuk dengan Rafa.

Bulan Syawal ini, rencananya Bibi baru yang datang akan menggantikan Bibi lama yang nggak balik lagi. Sengaja Bibi lama nggak disuruh balik lagi karena kerjanya butut. Tiap hari bikinn spaneng karena, intinya, apa yang saya minta tolong kerjakan, ujung-ujungnya saya kerjain sendiri.

Anyways... Selama nunggu Bibi baru datang, otomatis pekerjaan rumah tangga harus saya kerjakan. Meskipun ada Nin Lilis, adiknya Papah mertua yang setiap hari datang untuk bantu-bantu, tapi keperluan keluarga kecil saya tetap saya kerjakan sendiri. Untuk mempersiapkan diri, jauh-jauh hari sebelum si Bibi lama pulang mudik saya sudah mendoktrin diri sendiri: "I'm gonna be perfectly okay without si Bibi".

Pagi-pagi sebelum Rafa bangun saya menyetrika baju, kemudian memandikan Rafa, dan setelah Rafa rapi dan perutnya kenyang, saya beres-beres kamar dan memasukan cucian ke mesin cuci. Alhamdulillah karena si Suami kerjanya tidak terikat waktu, urusan mandi pagi dan sarapan Aisyah bisa dihandle beliau *kiss*. namanya urusan rumah tangga, memang nggak pernah selesai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Ada aja kejutannya. Misalnya pas mau nyantai nonton TV, tiba-tiba Aisyah minta diambilkan minum, terus minumnya tumpah jadi harus ngepel. Atau lagi mau tiduran bentar, tiba-tiba kucing masuk dan ngejatuhin makanan, jadi harus nyapu dan beres-beres. Ya begitulah.

Tapi diluar dugaan, ternyata so far saya cukup menikmati kegiatan rumah tangga ini. Satu hal yang saya sadari, saya jadi jarang idle. Otomatis ga banyak mikir macem-macem. Jarang pegang handphone buat twitteran juga. Dan ternyata, jarang twitteran bisa bikin lancar nulis lebih dari 140 karakter, hehe. Buktinya sejak semalam saya sudah nulis 5 postingan di blog. Dua postingan di sini, dan tiga postingan di kelakuankelakuan.blogspot.com.

Ternyata betul ya, we have to cherish every moment, termasuk moment tanpa si Bibi. Kalau dulu, dari awal saya udah mikirin 'bakal repot nih, nggak ada si Bibi'. Akhirnya pas kejadian harus ngerjain apa-apa sendiri malahan nggak enjoy dan kerasa lebih cape. Kalau mendoktrin diri dengan doktrin positif, ternyata kerjaan yang nggak berenti-berenti itu malah mayan bisa dinikmati. Cape, sih, tapi minimal ngerjainnya nggak pake ngomel-ngomel, dan yang pasti, tersenyum puas saat semua kerjaan bisa selesai.

Well, saya tetap membutuhkan si Bibi untuk bantu-bantu, sih. Tapi saya berdoa ketika si Bibi sudah datang pun saya tetap bisa menikmati pekerjaan rumah tangga ini.

Alasan.

by | | 0 comments
Memang repot jadi ibu rumah tangga beranak dua. Sering kali ide untuk bahan tulisan di blog melintas di pikiran, tapi mesti tertunda - atau bahkan batal ditulis karena banyak kegiatan ibu rumah tangga yang harus saya selesaikan.

Pagi-pagi, habis si bungsu dimandikan dan disusui, biasanya dia tidur. Saat yang tepat untuk menulis sebenarnya, karena pikiran masih segar, otak masih cerah. Tapi kan ada si sulung yang harus disuapi dan tak jarang mengajak bermain. Kalaupun si sulung asyik dengan bapaknya, toh saya harus membereskan kamar dan setrikaan. Siang hari, sehabis makan siang, idealya anak-anak tidur siang. Tapi si sulung bukan tipe anak yang suka tidur siang, malah biasanya on fire dan mengajak main ini itu. Sementara si bungsu yang baru 2 bulan lebih itu masih belum bisa ditebak jadwal tidurnya. Sore hari sampai malam haripun begitu. Ada saja kegiatan domestik atau bermain bersama anak-anak yang menjauhkan saya dari laptop.

Biasanya malam hari, setelah anak-anak tidur, adalah saat yang tepat untuk menulis. Tapi itu kalau mereka tidur cepat. Itupun mesti menunggu sampai si sulung benar-benar terlelap. Sering kali acara menulis batal karena saya sudah mengantuk.

Baiklah, subuh kalau begitu. Sehabis shalat subuh. Lagi-lagi hanya wacana. Kantuk lebih sering memenangkan pertarungan karena semalaman si bungsu masih terbangun beberapa kali.

Dan seterusnya dan seterusnya.

Demikianlah alasan mengapa saya jarang menulis blog.

*Padahal sebenarnya sih masalah menulis, cuma soal niat ya. tulisan inipun bisa kelar karena niat. Meskipun diselesaikan dengan terburu-buru karena takut si bungsu keburu bangun dan si sulung keburu selesai menonton acara tv kesayangannya.