PE ER

by | |
Semenjak jadi Ibu, yang selalu menjadi semacam ‘tugas prioritas’ buat saya adalah pendidikan untuk Aisyah. Kenapa bukan mencukupi gizi dan mencukupi kebutuhan materi? Karena kedua hal itu buat saya nggak terlalu susah. Bukan, bukan karena saya kaya raya luar biasa, karena kami memang tidak (belum) kaya raya. Tapi karena kedua hal tersebut berhubungan langsung dengan rejeki, yang mana masing-masing orang sudah diatur rejekinya sama Allah SWT. Rejeki Aisyah, masih menjadi tanggung jawab kami sebagai orang tua untuk mengaturnya, memang. Tapi selama kami mau berusaha menjemput rejeki tersebut, insyaAllah akan tercukupi.

Sementara soal pendidikan ini adalah soal yang lebih tricky. Bukan cuma soal menjemput rejeki, karena pendidikan yang saya maksudkan bukan cuma
memilih sekolah terbaik untuk Aisyah, tapi juga soal mendidik diri sendiri. Maksudnya mendidik diri sendiri adalah, kalau kita menginginkan anak yang shalehah tentu kita pun harus menjadi orang yang shaleh/shalehah, kalau ingin anak yang penyabar tentu kita pun harus jadi orang yang penyabar, kalau ingin punya anak pandai tentu kita pun tak boleh kalah cerdas, kalau ingin punya anak pemurah tentu kita tidak boleh pelit, dst. Yang susah, bukan mengajarkan anak untuk jadi shaleh, sabar, baik hati, dan tidak sombong. Tapi mempersiapkan diri kita untuk menjadi orang yang lebih taat beribadah, lebih sabar, lebih baik hati, dan lebih rendah hati. Karena pendidikan anak soal budi pekerti dan agma, tentu tidak akan optimal kalau kita hanya bicara dan memberi tahu tanpa memberi contoh. Terasa oleh saya yang mood swing nya luar biasa ini, sangat sulit ketika mencontohkan ‘sabar’ pada Aisyah. Tapi alhamdulillah si suami adalah orang yang stok sabarnya berlimpah, sehingga Aisyah bisa belajar sabar dari bapaknya. Yes, salah satu cara untuk meringankan ‘beban’ pendidikan anak adalah dengan berbagi tugas. Tentu kita juga nggak bisa mengubah diri at once. Misalnya sehari-harinya malas, pas punya anak jadi rajin banget. Untuk itu peran ayah dan ibu bisa saling melengkapi. Karena si suami suka malas, eh, lupa menaruh barang di tempat semula, maka sayalah yang bertugas lebih giat mengingatkan dan mencontohkan Aisyah untuk beres-beres sehabis bermain dan mengembalikan barang-barang ke tempatnya atau ke pemiliknya.

Hal lain yang saya takutkan ketika mendidik anak adalah menjadi orang tua yang ‘buta’. Dalam arti, hanya melihat anak dari sisi kita sebagai orang tua, dan tidak melihat dari sisi orang lain. Apalagi Aisyah dari pihak keluarga saya adalah cucu pertama. Cucu pertama kadang rawan menjadikan orang tuanya buta. Di rumah, untuk ayah ibu dan kakek neneknya, mungkin si anak ini lucu, pandai, nggak ada celanya. Tapi siapa tau, ketika berhadapan dengan orang lain, karena terbiasa segala maunya dipenuhi, dia menjadi anak yang egois. Dan kita sebagai orang tua tidak menyadari hal ini karena kita hanya melihat si anak sebagai ‘anak kita’. Siapa tau apa yang buat kita ‘biasa’ anak lakukan di rumah, buat orang lain tidak biasa. Dan kita tidak mau peduli soal itu, karena kita berpegang pada ‘seperti itulah anak saya dibesarkan, dengan cara terbaik menurut kami’. Saya paling takut jadi orang tua semacam itu. Karena efeknya bukan hanya pada orang tua, tapi justru berdampak besar pada psikologis si anak. Saya paling takut kalau anak saya jadi orang yang egois, yang tidak mau mendengar kata orang. Naudzubillahimindzaliik. Tapi tidak menjadi orang tua yang buta pun cukup rumit. Saya juga takut jadi terlalu keras pada Aisyah. Terlalu menuntutnya untuk ‘menyenangkan semua orang’. Saya juga kan ga mau Aisyah gedenya jadi kaya Om Beye *ketok meja sejuta kali*.

Mendidik anak adalah neverending process buat orang tua. Meskipun kelak si anak sudah menikah dan terpisah dari orang tua, tanggung jawab untuk melihat kehidupan yang lebih baik bagi anaknya pasti akan selalu ada, meskipun sebenarnya ketika sudah menikah tanggung jawab itu sudah terlepas. Makanya dalam mendidik anak saya juga terus belajar. Bukan cuma dari belajar dari bacaan, tapi juga belajar dari keempat orang tua saya. Saya biasanya mengingat-ingat bagaimana Mami dan Papap saya memperlakukan saya ketika masih kecil. Yang cocok, bisa saya terapkan, yang tidak cocok ya jangan dipaksakan.

Anyway, nggak ada yang bilang mendidik anak itu gampang. Bahkan Kak Seto pun pasti sering menghadapi kesulitan dalam menghadapi anak-anak *untung ada si Komo yang membantu*. Tapi tentu setiap orang tua akan mengusahakan yang terbaik, banyak berdoa dan banyak belajar. Mari kita berdoa bersama agar kita menjadi orang tua sukses yang melahirkan anak-anak yang gemilang. Merdeka!Amin :).

0 comments:

Post a Comment