Edisi percobaan buat cake kukus dengan bahan dasar wortel. Berhubung kurang akur dengan oven, maka hampir tiap bikin kue pasti yang dikukus. Sempat deg-degan karena aslinya ini resep untuk cake panggang. Alhamdulillah hasilnya memuaskan. Lembut, moist, legit, dan teksturnya kaya karena ada kriuk-kriuk dari kacang.
Resep diadaptasi dari justtryandtaste.com dengan penyesuaian takaran dan variasi bahan. Silakan yang mau mencoba, ini resepnya...
Bahan:
4 butir telur
200 gr margarine, lelehkan
150 gr gula palm
100 gr gula pasir
250 gr tepung terigu serba guna
2 sdt baking soda
2 sdt baking powder
1/2 sdt garam
2 sdt kayu manis bubuk
330 gr wortel, parut dan buang airnya (JANGAN diperas, hanya air yang keluar saat diparut saja yang dibuang)
100 gr kacang kenari, sangrai lalu remukan kasar
Cara Membuat:
1. Campur tepung terigu, baking powder, baking soda, garam, dan kayu manis bubuk, sisihkan.
2. Kocok telur, margarine, gula palm dan gula pasir hingga mengembang. Masukan campuran tepung, aduk rata.
3. Masukan parutan wortel dan kacang, aduk rata.
4. Tuang ke loyang yang telah diberi margarin dan tepung.
5. Kukus di kukusan yang telah dipanaskan dengan api besar selama 20-30 menit atau sampai matang.
6. Potong-potong dan sajikan.
Selamat mencoba !
Pengajian bersama Abu Marlo, In My Humble Opinion
Gara-gara sarapan di Lawang Wangi tadi pagi, jadi ngobrolin soal pengajian Abu Marlo (magician lulusan The Master nya Dedy Corbuzier) sama teman-teman baru (baca: emak-emak hobi ngunyah dari sekolahan Aisyah). Baru tau ternyata Abu Marlo sekarang punya acara dakwah sendiri di ANTV. Dan baru tau juga ternyata acara ini menuai banyak kecaman. Mulai dari yang mencap Abu Marlo menafsirkan Al Qur'an sembarangan sampai yang menuduh Abu Marlo mengajarkan aliran sesat.
First of all, saya memuji Abu Marlo yang bisa hapal Al Qur'an dalam waktu singkat. Dan saya memuji juga niatan Abu untuk berbagi ilmu, dimulai dari teman-temannya sendiri. Sahabat saya bercerita, bahwa awalnya Abu Marlo mengikuti pengajian yang dipimpin oleh Kang siapa ya *maaf lupa* di sebuah rumah di kawasan Bandung Utara, dan dari situlah dia berniat untuk bisa menghapal Al Qur'an. Dan dalam waktu singkat ternyata Abu mampu menghapalnya. Sampai situ saya kagum pada kemampuannya.
Sayangnya (atau untungnya?), ketika menghadiri pengajiannya saya merasa kurang sreg. Bukan dengan cara penyampaiannya, tapi dengan metode 'penafsiran' Al Qur'annya. Kenapa penafsirannya saya kasih tanda petik? Karena dari awal, saya sudah bingung. Kok terjemah Al Qur'an ditafsirkan mentah-mentah. Diartikan sebagaimana kalimatnya. Padahal, kita semua tau kalau 'terjemah' dan 'tafsir' itu beda (kalau yang belum tau, sila googling saja ya). Dan, CMIIW, untuk bisa menafsirkan Al Qur'an gak bisa cuma bermodalkan hapal Al Qur'an saja. Tapi juga harus dibarengi ilmu tajwid, ilmu fiqh, ilmu tarikh, dll. Selama pengajian saya jadi banyak bingung karena kok ada ayat-ayat yang penafsirannya melenceng. Tapi waktu itu saya diem aja sih, soalnya takut saya yang salah (karena toh memang pengetahuan agama saya nggak seberapa). Tapi ternyata pas pulangnya, si suami yang ikut juga pengajian waktu itu, sama-sama merasa ada yang salah dari cara penafsiran Abu. Sejujurnya saya juga sempat bertanya-tanya, Abu Marlo ini hapal ayat-ayat Al Qur'an atau hapal terjemahannya saja ya? Kok selama pengajian dia hanya membacakan terjemah, tapi tidak pernah membacakan ayat dalam bahasa Arab. Tapi saya berpikir, oh mungkin karena ingin menyampaikan dalam bahasa yang dipahami kami-kami yang awam ini, maka dia lebih memilih langsung membacakan terjemahan Bahasa Indonesia nya.
Pendek kata pendek cerita, saya dan suami memutuskan untuk tidak lagi menghadiri pengajian tersebut. Bukan karena takut disesatkan (siapalah kami ini ngecap orang 'sesat' sembarangan), tapi semata-mata karena alasan bahwa cara pandang kami terhadap penafsiran Al Qur'an berbeda dan kami nggak mau hadir disitu tapi hati kami meragukan.
Nah, sekarang balik lagi ke urusan pengajian Abu Marlo ini: salahkah? Kalau dilihat dari niatan baiknya untuk berbagi ilmu, tentu tidak salah. Tapi metodenya mungkin harus diperbaiki. Ada baiknya untuk penafsiran ayat-ayat Al Qur'an disampaikan oleh ustadz yang memang latar belakang pendidikian agamanya baik, sementara Abu Marlo bisa berbagi ilmu menyampaikan teknik menghapal Al Qur'an nya. Atau lebih baik lagi bila dilengkapi belajar membaca Al Qur'an, khusus buat yang belum baik bacaan Al Qur'an nya (seperti saya). Supaya anggota pengajian tidak cuma mampu menghapal terjemah Al Qur'an aja, tapi menghapal juga ayat-ayatnya. Lalu pengajian ini sesatkah? Duh, saya nggak berani seenaknya menunjuk orang lalu bilang dia sesat. Tapi kalau bertahan dengan metode penafsiran mentah-mentah seperti ini, khawatir makin banyak penafsiran ayat yang melenceng dan bisa menyesatkan mereka yang kurang jeli.
Tapi ini cuma pendapat saya, ya. Saya yang - sekali lagi - pengetahuan agamanya nggak seberapa ini. Mudah-mudahan (lagi-lagi) sekali lagi, bisa membantu kita berfikir jernih dalam menyikapi isu ini.
Wallahu'alam bissawab :).
Saya pernah sekali ikut pengajian Abu Marlo. Waktu itu masih berupa pengajian kecil bersama teman-teman sepergaulan Abu Marlo. Saya sendiri hadir bukan karena gaulnya bareng Abu *ah siapalah saya ini*, tapi karena diajak seorang sahabat baik saya yang memang sudah lumayan lama mengikuti pengajian tersebut. Dan bermodalkan sekali datang itulah saya ingin berbagi pendapat saya soal 'cara berdakwah' Abu Marlo. Mudah-mudahan bisa objektif dan tidak memancing debat kusir tak berkesudahan. Dan pandangan saya ini murni pandangan pribadi sebagai orang awam yang pengetahuan agamanya biasa aja, serta tentunya dengan tidak mengurangi rasa sayang dan rasa hormat pada sahabat saya yang sudah berbaik hati mengajak saya untuk hadir.
First of all, saya memuji Abu Marlo yang bisa hapal Al Qur'an dalam waktu singkat. Dan saya memuji juga niatan Abu untuk berbagi ilmu, dimulai dari teman-temannya sendiri. Sahabat saya bercerita, bahwa awalnya Abu Marlo mengikuti pengajian yang dipimpin oleh Kang siapa ya *maaf lupa* di sebuah rumah di kawasan Bandung Utara, dan dari situlah dia berniat untuk bisa menghapal Al Qur'an. Dan dalam waktu singkat ternyata Abu mampu menghapalnya. Sampai situ saya kagum pada kemampuannya.
Sayangnya (atau untungnya?), ketika menghadiri pengajiannya saya merasa kurang sreg. Bukan dengan cara penyampaiannya, tapi dengan metode 'penafsiran' Al Qur'annya. Kenapa penafsirannya saya kasih tanda petik? Karena dari awal, saya sudah bingung. Kok terjemah Al Qur'an ditafsirkan mentah-mentah. Diartikan sebagaimana kalimatnya. Padahal, kita semua tau kalau 'terjemah' dan 'tafsir' itu beda (kalau yang belum tau, sila googling saja ya). Dan, CMIIW, untuk bisa menafsirkan Al Qur'an gak bisa cuma bermodalkan hapal Al Qur'an saja. Tapi juga harus dibarengi ilmu tajwid, ilmu fiqh, ilmu tarikh, dll. Selama pengajian saya jadi banyak bingung karena kok ada ayat-ayat yang penafsirannya melenceng. Tapi waktu itu saya diem aja sih, soalnya takut saya yang salah (karena toh memang pengetahuan agama saya nggak seberapa). Tapi ternyata pas pulangnya, si suami yang ikut juga pengajian waktu itu, sama-sama merasa ada yang salah dari cara penafsiran Abu. Sejujurnya saya juga sempat bertanya-tanya, Abu Marlo ini hapal ayat-ayat Al Qur'an atau hapal terjemahannya saja ya? Kok selama pengajian dia hanya membacakan terjemah, tapi tidak pernah membacakan ayat dalam bahasa Arab. Tapi saya berpikir, oh mungkin karena ingin menyampaikan dalam bahasa yang dipahami kami-kami yang awam ini, maka dia lebih memilih langsung membacakan terjemahan Bahasa Indonesia nya.
Pendek kata pendek cerita, saya dan suami memutuskan untuk tidak lagi menghadiri pengajian tersebut. Bukan karena takut disesatkan (siapalah kami ini ngecap orang 'sesat' sembarangan), tapi semata-mata karena alasan bahwa cara pandang kami terhadap penafsiran Al Qur'an berbeda dan kami nggak mau hadir disitu tapi hati kami meragukan.
Nah, sekarang balik lagi ke urusan pengajian Abu Marlo ini: salahkah? Kalau dilihat dari niatan baiknya untuk berbagi ilmu, tentu tidak salah. Tapi metodenya mungkin harus diperbaiki. Ada baiknya untuk penafsiran ayat-ayat Al Qur'an disampaikan oleh ustadz yang memang latar belakang pendidikian agamanya baik, sementara Abu Marlo bisa berbagi ilmu menyampaikan teknik menghapal Al Qur'an nya. Atau lebih baik lagi bila dilengkapi belajar membaca Al Qur'an, khusus buat yang belum baik bacaan Al Qur'an nya (seperti saya). Supaya anggota pengajian tidak cuma mampu menghapal terjemah Al Qur'an aja, tapi menghapal juga ayat-ayatnya. Lalu pengajian ini sesatkah? Duh, saya nggak berani seenaknya menunjuk orang lalu bilang dia sesat. Tapi kalau bertahan dengan metode penafsiran mentah-mentah seperti ini, khawatir makin banyak penafsiran ayat yang melenceng dan bisa menyesatkan mereka yang kurang jeli.
Tapi ini cuma pendapat saya, ya. Saya yang - sekali lagi - pengetahuan agamanya nggak seberapa ini. Mudah-mudahan (lagi-lagi) sekali lagi, bisa membantu kita berfikir jernih dalam menyikapi isu ini.
Wallahu'alam bissawab :).
Subscribe to:
Posts (Atom)