Prolog: tadinya bingung mau ngepost soal pre-school atau stroller. Tapi kayanya stroller mah bisa dibahas di twitter. Jadi setelah tadi ngetwit soal stroller, sekarang giliran nge-blog soal pre-school. Who said twitter kills blog? Kalo doyan nyampah mah tetep asikan di blog *hehe*.
Oke, setelah prolog yang ga ada hubungannya sama inti postingan, marilah kita mulai membahas masalah sesungguhnya: pre-school. Jadi sebenernya karena saya sudah berikrar untuk insyaAllah jadi ibu rumah tangga saja alias nggak pergi ngantor, sejak awal saya sudah memutuskan untuk tidak akan memasukan Aisyah ke pre-school. Mulai sekolahnya nanti aja kalo TK. Tapi obrolan dengan beberapa orang teman yang anaknya seumuran Aisyah jadi bikin mikir-mikir juga. Ada juga yang nanya kapan Aisyah mulai sekolah. Sejujurnya, buat saya pertanyaan itu agak lucu sih. Soalnya Aisyah minggu depan aja baru mau 1,5 tahun. Kayanya masih 2-3 tahunan lagi mulai mikirin sekolah. Tapi rupanya, di luar sana pertanyaan itu lazim dilontarkan pada ibu-ibu yang anaknya hampir berusia 2 tahun, karena rata-rata anak mulai 2 tahun sudah mulai dimasuka pre-school.
Memang sih, kebanyakan teman-teman saya yang menyekolahkan anaknya di usia batita adalah ibu bekerja yang sehari-hari 'menitipkan' anaknya pada nanny. Dan alasan mereka menyekolahkan anak dari 2 tahun pun logis, daripada mempercayakan 'pendidikan dini' sama si Mbak tentu lebih baik dititipkan di 'sekolah'. Kalau saya sebagai irt, alhamdulillah masih bisa mengawasi Aisyah hampir 24 jam, jadi pendidikan dini Aisyah pun masih bisa saya handle sendiri. Meskipun metodenya nggak secanggih dan sesistematis di sekolah, tapi akan sangat sesuai dengan nilai-nilai keluarga. Dari segi agamapun, kalau pengetahuan agama saya masih cetek, insyaAllah bapaknya bisa banyak membantu.
Tapi satu hal yang bikin saya nggak pede, jangan-jangan nanti Aisyah nggak semandiri teman-temannya yang pernah mengecap pendidikan prasekolah. Misalnya, gimana nanti kalau pas TK temen-temennya yang pernah pre-school lebih sigap makan sendiri, nyiapin apa-apa sendiri. Apalagi Aisyah punya sejarah keturunan balita anti-sosial (baca: ogah main sama anak-anak lain yang baru kenal) dan sangat lengket sama ibu *ya, saya oknumnya*. Saya takut aja Aisyah nanti susah berteman dan jadi kuper. Meskipun emaknya yang dulu anti sosial ini turns out okay dan beredar juga sih gedenya *pleh! cuih!*.
Sebenernya sih ada jalan buat masalah ini. Ya tinggal latih Aisyah lebih mandiri aja di rumah. Meskipun tetep, dilatih mandiri sama orang lain kayanya lebih cepet nempel dibanding dilatih sama emaknya. Apalagi emaknya suka nggak sabaran, ujung-ujungnya dikerjain emaknya juga :p. Dan saya sih pinginnya pas Aisyah udah 2 atau 3 tahun nanti di les in aja. Les nyetir atau bahasa Jerman. YA NGGAK LAH. Les ballet, tari Sunda, atau nyanyi. Soalnya keliatan dari sekarang Aisyah tertarik banget sama musik dan mulai bisa sing-a-long sama Elmo meskipun nadanya masih lempeng :D.
Jadi sih sebenernya, saya memang masih berat ke nggak usah pre-school. Apalgi pre-school mahal ya? Konon bayarannya ga jauh beda sama bayaran SMA *apa si Aisyah langsung masukin SMA aja ya?*. Tapi barangkali ada masukan dan pertimbangan lain dari ibu-ibu, terutama ibu rumah tangga, yang berniat memprasekolahkan anaknya?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
menurut gue ya ti, pre-school disesuaikan aja dgn kondisi finansial. kasarnya klo mmg uangnya ada go for it. klo gw sih skrg kyknya belom mampu.belom uang sekolahnya, antar jemputnya, driver dll-nya. lo jgn khawatir ttg kemandirian.ponakan gw ada yg sekolah dr jamannya gymboree smp yg lain2 tetep aja manja. so there's no guarantee that they will turn out better than those who dont go to pre school. imho lho yaa..cmmiw
Post a Comment