Nggak kok, postingan ini ditulis bukan karena pengen diselametin. Meskipun kalau ada yang nyelametin ultah, ngedoain, dan ngasih kado pasti diterima dengan senang hati plus didoakan mendapat balasan yang lebih dari Allah SWT :D.
So yeah, hari ini adalah hari ulang tahun saya yang ke-28. No, I'm not gonna write thank you note, resolusi, whatsoever. I'm just gonna blah on this birthday post. Hari ini sih saya memang sudah berikrar ga akan mengharapkan atau menyiapkan sesuatu yang istimewa. It's just a birthday. One should actually have a serenity moment, look back in times, and think about what to do next on their birthday, and not to have party. Semacam introspeksi diri, dan berbuat lebih baik muali hari ini dan seterusnya. Dan tapinya saya juga ga bakal nulisin hasil introspeksi atau rencana kedepan. Sudahlah, cukup saya saja yang tau. Takutnya udah ditulis-tulis angger-angger wae ga berubah kan malu akunya nanti.
Anyhoo, meskipun nggak merencanakan hal istimewa, tapinya susah juga ya kalo punya suami semanis (manja) Si Aa dan anak se-adorable Aisyah. Harus ada yang istimewa. Hari ini sih tadinya saya berniat di rumah aja. Tapinya, berkat user ID e-banking saya yang terblokir tadi pagi, maka nebenglah saya (dan Aisyah) sama si Papski ke bank. Tadinya mau di drop aja, tapi dasar suami shaleh, si papski nungguin di bank dan pulang dari bank kita mampir bentar ke kantor Papski. Katanya teman-teman Papski nyiapin birthday bash buat saya. YA ENGGAK LAH.
Abis dari kantor, tak disangka tak dinyana si Papski ngajak ke Ciwalk. Smbil nunggu beliau Jumatan, say makan froyo di J.Co. Aisyah dengan shalehahnya tidur nyenyak di sofa. Abis dari situ, kita makan siang di Platinum. Sumpah deh tadi siang ga kepikiran pengen makan apaan. Karena semalem mimpi makan ayam saus mentega di Gelap Nyawang, makanya milih makan di Platinum karena taunya yang ada ayam saus mentega di ciwalk ya di Platinum. Meskipun rasanya ya gitu deh :D.
Abis makan, iseng ke XXI, cek-cek ombak. Taunya Babies udah main. Dan kami bertiga memutuskan untuk nonton. Meskipun agak deg-degan juga. Ini kan pengalaman nonton pertama Aisyah. Jangan-jangan kita sia-sia ngeluarin duit 50rb karena Aisyah ogah masuk teater, misalnya. Tapi alhamdulillah, untuk ukuran anak seaktif Aisyah, acara nonton bisa dibilang sukses. Selama 3/4 film Aisyah anteng nonton sambil makan nori. Dan sekali waktu si Ratu sejuta gaya megang tempat popcorn dan asyik makan caramel popcorn *dikemplang ibu-ibu milis bayi sehat*. Pas udah mulai bosen, dia minta jalan-jalan. Untungnya bioskopnya kosong. Row A malah sama sekali kosong (kami duduk di row B). Jadi Aisyah bisa leluasa modar-mandir dan naik turun dari row B ke row A. Aisyah juga keliatan cukup menikmati filmnya. Sesekali dia jerit kegirangan kalau liat binatang, ikut ketawa kalo orang-orang ikut ketawa, nunjuk-nunjuk bayi-bayi di film dengan hebohnya, dan niruin suara bayi-bayi itu. Alhamdulillah juga ini anak ga menimbulkan keributan yang berarti yang bikin emak-bapaknya kemaluan. Eh, kena malu, maksudnya.
Habis nonton, karena sudah sore dan takut kehujanan dijalan, kamipun pulang dengan bahagia. Tapi seakan saya masih kurang bahagia, kencan ulang tahun disempurnakan dengan makan Mijak depan kampus. Kali ini berdua saja dengan Si Papski. Dan kami beli DVD banyak sekali. Meskipun kemudian kami mengetahui bahwa dvd player di laptop kami ga bisa nyala. Ngok ah.
Baiklah. Begitulah cerita ulang tahun saya hari ini. Sangat menyenangkan. Terima kasih suami, terima kasih Aisyah, terima kasih semua yang sudah membuat hari ini begitu menyenangkan. Terima kasih Ya Allah, mohon anugerahkanlah sisa usia yang barakah bagi hamba. Amin
To Pre-school or not To Pre-school
Prolog: tadinya bingung mau ngepost soal pre-school atau stroller. Tapi kayanya stroller mah bisa dibahas di twitter. Jadi setelah tadi ngetwit soal stroller, sekarang giliran nge-blog soal pre-school. Who said twitter kills blog? Kalo doyan nyampah mah tetep asikan di blog *hehe*.
Oke, setelah prolog yang ga ada hubungannya sama inti postingan, marilah kita mulai membahas masalah sesungguhnya: pre-school. Jadi sebenernya karena saya sudah berikrar untuk insyaAllah jadi ibu rumah tangga saja alias nggak pergi ngantor, sejak awal saya sudah memutuskan untuk tidak akan memasukan Aisyah ke pre-school. Mulai sekolahnya nanti aja kalo TK. Tapi obrolan dengan beberapa orang teman yang anaknya seumuran Aisyah jadi bikin mikir-mikir juga. Ada juga yang nanya kapan Aisyah mulai sekolah. Sejujurnya, buat saya pertanyaan itu agak lucu sih. Soalnya Aisyah minggu depan aja baru mau 1,5 tahun. Kayanya masih 2-3 tahunan lagi mulai mikirin sekolah. Tapi rupanya, di luar sana pertanyaan itu lazim dilontarkan pada ibu-ibu yang anaknya hampir berusia 2 tahun, karena rata-rata anak mulai 2 tahun sudah mulai dimasuka pre-school.
Memang sih, kebanyakan teman-teman saya yang menyekolahkan anaknya di usia batita adalah ibu bekerja yang sehari-hari 'menitipkan' anaknya pada nanny. Dan alasan mereka menyekolahkan anak dari 2 tahun pun logis, daripada mempercayakan 'pendidikan dini' sama si Mbak tentu lebih baik dititipkan di 'sekolah'. Kalau saya sebagai irt, alhamdulillah masih bisa mengawasi Aisyah hampir 24 jam, jadi pendidikan dini Aisyah pun masih bisa saya handle sendiri. Meskipun metodenya nggak secanggih dan sesistematis di sekolah, tapi akan sangat sesuai dengan nilai-nilai keluarga. Dari segi agamapun, kalau pengetahuan agama saya masih cetek, insyaAllah bapaknya bisa banyak membantu.
Tapi satu hal yang bikin saya nggak pede, jangan-jangan nanti Aisyah nggak semandiri teman-temannya yang pernah mengecap pendidikan prasekolah. Misalnya, gimana nanti kalau pas TK temen-temennya yang pernah pre-school lebih sigap makan sendiri, nyiapin apa-apa sendiri. Apalagi Aisyah punya sejarah keturunan balita anti-sosial (baca: ogah main sama anak-anak lain yang baru kenal) dan sangat lengket sama ibu *ya, saya oknumnya*. Saya takut aja Aisyah nanti susah berteman dan jadi kuper. Meskipun emaknya yang dulu anti sosial ini turns out okay dan beredar juga sih gedenya *pleh! cuih!*.
Sebenernya sih ada jalan buat masalah ini. Ya tinggal latih Aisyah lebih mandiri aja di rumah. Meskipun tetep, dilatih mandiri sama orang lain kayanya lebih cepet nempel dibanding dilatih sama emaknya. Apalagi emaknya suka nggak sabaran, ujung-ujungnya dikerjain emaknya juga :p. Dan saya sih pinginnya pas Aisyah udah 2 atau 3 tahun nanti di les in aja. Les nyetir atau bahasa Jerman. YA NGGAK LAH. Les ballet, tari Sunda, atau nyanyi. Soalnya keliatan dari sekarang Aisyah tertarik banget sama musik dan mulai bisa sing-a-long sama Elmo meskipun nadanya masih lempeng :D.
Jadi sih sebenernya, saya memang masih berat ke nggak usah pre-school. Apalgi pre-school mahal ya? Konon bayarannya ga jauh beda sama bayaran SMA *apa si Aisyah langsung masukin SMA aja ya?*. Tapi barangkali ada masukan dan pertimbangan lain dari ibu-ibu, terutama ibu rumah tangga, yang berniat memprasekolahkan anaknya?
Oke, setelah prolog yang ga ada hubungannya sama inti postingan, marilah kita mulai membahas masalah sesungguhnya: pre-school. Jadi sebenernya karena saya sudah berikrar untuk insyaAllah jadi ibu rumah tangga saja alias nggak pergi ngantor, sejak awal saya sudah memutuskan untuk tidak akan memasukan Aisyah ke pre-school. Mulai sekolahnya nanti aja kalo TK. Tapi obrolan dengan beberapa orang teman yang anaknya seumuran Aisyah jadi bikin mikir-mikir juga. Ada juga yang nanya kapan Aisyah mulai sekolah. Sejujurnya, buat saya pertanyaan itu agak lucu sih. Soalnya Aisyah minggu depan aja baru mau 1,5 tahun. Kayanya masih 2-3 tahunan lagi mulai mikirin sekolah. Tapi rupanya, di luar sana pertanyaan itu lazim dilontarkan pada ibu-ibu yang anaknya hampir berusia 2 tahun, karena rata-rata anak mulai 2 tahun sudah mulai dimasuka pre-school.
Memang sih, kebanyakan teman-teman saya yang menyekolahkan anaknya di usia batita adalah ibu bekerja yang sehari-hari 'menitipkan' anaknya pada nanny. Dan alasan mereka menyekolahkan anak dari 2 tahun pun logis, daripada mempercayakan 'pendidikan dini' sama si Mbak tentu lebih baik dititipkan di 'sekolah'. Kalau saya sebagai irt, alhamdulillah masih bisa mengawasi Aisyah hampir 24 jam, jadi pendidikan dini Aisyah pun masih bisa saya handle sendiri. Meskipun metodenya nggak secanggih dan sesistematis di sekolah, tapi akan sangat sesuai dengan nilai-nilai keluarga. Dari segi agamapun, kalau pengetahuan agama saya masih cetek, insyaAllah bapaknya bisa banyak membantu.
Tapi satu hal yang bikin saya nggak pede, jangan-jangan nanti Aisyah nggak semandiri teman-temannya yang pernah mengecap pendidikan prasekolah. Misalnya, gimana nanti kalau pas TK temen-temennya yang pernah pre-school lebih sigap makan sendiri, nyiapin apa-apa sendiri. Apalagi Aisyah punya sejarah keturunan balita anti-sosial (baca: ogah main sama anak-anak lain yang baru kenal) dan sangat lengket sama ibu *ya, saya oknumnya*. Saya takut aja Aisyah nanti susah berteman dan jadi kuper. Meskipun emaknya yang dulu anti sosial ini turns out okay dan beredar juga sih gedenya *pleh! cuih!*.
Sebenernya sih ada jalan buat masalah ini. Ya tinggal latih Aisyah lebih mandiri aja di rumah. Meskipun tetep, dilatih mandiri sama orang lain kayanya lebih cepet nempel dibanding dilatih sama emaknya. Apalagi emaknya suka nggak sabaran, ujung-ujungnya dikerjain emaknya juga :p. Dan saya sih pinginnya pas Aisyah udah 2 atau 3 tahun nanti di les in aja. Les nyetir atau bahasa Jerman. YA NGGAK LAH. Les ballet, tari Sunda, atau nyanyi. Soalnya keliatan dari sekarang Aisyah tertarik banget sama musik dan mulai bisa sing-a-long sama Elmo meskipun nadanya masih lempeng :D.
Jadi sih sebenernya, saya memang masih berat ke nggak usah pre-school. Apalgi pre-school mahal ya? Konon bayarannya ga jauh beda sama bayaran SMA *apa si Aisyah langsung masukin SMA aja ya?*. Tapi barangkali ada masukan dan pertimbangan lain dari ibu-ibu, terutama ibu rumah tangga, yang berniat memprasekolahkan anaknya?
Subscribe to:
Posts (Atom)