Mari kita buka tulisan ini dengan kalimat klasik:
It's been years since the last time I write a blog post.
Nggak ada alasan khusus, sih, kenapa saya lama nggak blogging. Mungkin sama seperti sejuta orang lainnya: terlalu sibuk dan teralihkan oleh media sosial (baca: Instagram, X, Thread). Ironisnya (eh, nggak ironis juga, sih), alasan saya kembali menulis hari ini justru karena saya merasa sepertinya saya sudah terlalu terlena (insert song: Terlena - Ike Nurjanah) dengan dunia medsos yang begitu (((memabukkan))).
Beberapa minggu ini saya kepikiran, apa sih sebenarnya yang bikin komentar-komentar di medsos itu begitu liar dan debatnya begitu melelahkan dan tak berujung? Yak, benar. Karena orang nggak dikasih kesempatan buat berbicara (menulis) secara utuh tentang apa yang ada di benaknya. Medsos begitu membatasi (dari segi jumlah karakter dan volume post) penulis buat mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Yang tentu saja, buat orang yang nggak biasa merangkum tulisan bisa menimbulkan penyampaian yang berkesan setengah-setengah. Pun bagi yang kebiasaan tidak mencerna tulisan/video dengan baik, kerap menimbulkan mispersepsi. Dan ini sering menimbulkan kesalah-pahaman yang melahirkan debat kusir, nggak jarang juga berakhir dengan viral tapi salah (yang ditutup dengan permohonan maaf).
Rendahnya literasi dan kemampuan berpikir kritis generasi masa kini juga saya rasa cukup dipengaruhi oleh media sosial. Anak-anak sekarang (karena aku anak zaman dulu) terbiasa mendapatkan informasi yang singkat dan bertubi-tubi dalam hitungan detik. Jangankan punya waktu buat mencerna dengan baik, ibaratnya, masih kaget udah dapet informasi lain yang sama-sama bikin kaget.
But I'm not gonna talk about social media. Let's talk about how romantic blog is.
Back in the late 90s/early 2000s, blog adalah salah satu cara saya (dan sejuta orang lainnya di masa itu) untuk menulis apapun yang ada di pikiran. Umumnya tulisan di blog terdiri dari beberapa paragraf, sehingga para blogger bisa leluasa mengungkapkan pendapat atau pengalamannya. Hal ini bikin risiko mispersepsi jadi menyempit. Jangan salah, blog pada masa itu nggak melulu isinya serius atau berfaedah untuk kemaslahatan dunia. Nggak. Banyak juga yang isinya pengalaman konyol sehari-hari, pengalaman patah hati, atau sekadar ranting. Tapi, serandomnya isi blog post, umumnya masih sistematis dan "ada ceritanya."
Zaman-zaman blog berjaya juga jaraaaang banget ditemukan debat kusir tak berujung (apalagi yang ditutup dengan kata-kata kasar). Mungkin karena, ya, tulisannya menceritakan sebuah masalah (atau pengalaman) secara utuh. Jadinya pembaca juga memahami konteks dan mampu (berusaha) menempatkan diri di "sepatu" penulis. Diskusi di kolom komentar pun biasanya berjalan santai dan seru. Yah, ini bisa jadi dipengaruhi personality yang berbeda di tiap generasi, sih. Tapi saya rasa privilege untuk bisa bercerita dan menyimak secara utuh juga mempengaruhi.
Jadilah kerinduan saya untuk bisa menulis panjang lebar tentang hal-hal yang seringnya nggak penting, membawa saya kembali ke blog. Seperti awal ngeblog dulu, saya hanya ingin bercerita, menghindari debat nggak perlu, dan bersenang-senang. Dan untuk tulisan pertama setelah sekian lama ini, saya mohon maaf jika bahasanya masih kurang mengalir dan kurang enak dibaca, atau banyak typo (karena akulah Si Ratu Typo). Yah, namanya juga udah lama nggak nulis blog. Belum nemu selahnya, kalau kata orang Sunda mah.
Anyway, meskipun blog (menurut saya) punya segudang manfaat lebih daripada medsos, tapi memang untuk menyimak dan menikmatinya, blog membutuhkan kemampuan fokus lebih. Jadi saya nggak menyalahkan kalau nggak semua orang suka ngeblog atau blog walking (astaga sebuah istilah yang sangat vintage). Seperti judul post saya, blog emmang cuma buat yang mau-mau aja.
*Kalau sekiranya di sini ada adik-adik yang kurang familiar atau masih nggak kebayang blog zaman dulu kaya apa, bisa klik profile di sisi kanan ada blogs saya yang ditulis pada masa-masa kelabilan duniawi.