Yes, I'm a mom with one fabulous 15 mo baby girl. But yet, not like any other mommies I don't write often about my princess on my blog. Jarang banget malah.
Bukan gak tertarik, atau nggak pengen 'mamerin' si Bepski di dunia maya. Tapi apa ya. Tiap mau nulis soal Aisyah, rasanya banyak banget yang kepengen ditulis dan di bagi. Akibatnya malah suka bingung sendiri mau mulai dari mana. Nggak kaya dua teman saya, Windy dan Citra, yang dikit-dikit rajin banget cerita soal Kheif dan Shahlaa. Tiap abis baca blog mereka, semangat langsung pengen nulis dan cerita soal Aisyah. Tapi ya itu, tiap mau nulis soal Aisyah, malah yang ada bengong, terus ga jadi nulis deh.
Anyhoo, Aisyah, Mamski jarang banget nyeritain kebanggan Mamski sama Aisyah bukan karena Mamski malas, atau ga pengen mamerin kepandaian dan kelucuan Aisyah. Tapi Mamski rupanya tidak pandai berkata-kata. Cuz when it comes to you, ga cukup kata buat ngungkapin rasa sayang dan rasa bangga Mamski.
I love you my dearest Queen Abepbep *kecup* !
We Don't Love the (Un)comfort Zone
Saya selalu percaya, bahwa hidup terdiri dari pilihan-pilihan. Setiap pilihan punya tantangan masing-masing, punya resiko sendiri, punya efek samping, tapi juga tentunya punya kelebihan masing-masing. Saya dan suami adalah dua orang yang memilih untuk menjalani hidup sebagai sebuah petualangan yang menyenangkan. Meskipun kadang, pilihan-pilihan kami menimbulkan protes dari orang-orang yang peduli pada kami. Atau setidaknya membuat mereka mengernyitkan alis.
Seperti contohnya, saat suami saya memutuskan untuk berhenti dari sebuah perusahaan besar (waktu itu suami ditempatkan di Kalimantan) dan pindah ke kantor kecil di Bandung. Banyak orang menyayangkan keputusan ini. Faktanya memang menjadi pegawai di perusahaan ini adalah dambaan banyak orang. Gaji (katanya) besar, tunjangan ina-inu, jenjang karir, dan fasilitas kantor lainnya yang menyilaukan mata *halah*. Tapi kami berdua merasa bukan semata kemapanan yang kami cari. Bukan congkak bukan pula sombong, tapi semua janji kemapanan itu jadi nggak berarti ketika kami ingat bahwa kami harus seperti keluarga tentara. Siap dipindah kemana saja kapan saja. Saya sih nggak bisa membayangkan harus berkali-kali boyongan kesana kemari, apalagi kalau anak sudah sekolah. Itu, dan banyak faktor lainnya yang akhirnya membuat suami memtuskan untuk meninggalkan pekerjaan itu.
Hal lain yang sempat bikin kami nyengir kuda saat baru pindah dari perusahaan itu adalah soal 'kebiasaan' si suami yang kalau tinggal di luar kota biasanya nggak lama. Pernah ada dua kali kejadian. Sekali, saat dia masih SMP dan memilih pesantren di Garut tapi hanya satu semester dan memutuskan untuk bersekolah di Bandung. Kedua kali, saat kuliah di Depok dan setahun kemudian memilih kembali pulang ke Bandung dan kuliah di Jalan Ganesha *jadi kusir delman*. Ditambah kejadian berhenti bekerja di Kalimantan dan pulang ke Bandung jadi tiga. Otomatis selama beberapa bulan pertama kepindahan kami, sering sekali mendengar cerita soal si suami yang selalu 'pulang' ke Bandung ini. Kami sih nggak pernah tanggapi terlalu serius. Pertama, karena kami tau ada alasan kuat dibalik kepulangan-kepulanagn itu. Dan kedua - yang paling penting - meskipun kembali ke Bandung, setidaknya kami pernah berani mencoba pergi dari Bandung dan mencoba hal baru. Setidaknya kami dapat pengalaman yang tentu memperkaya hidup kami. Mencoba dan kembali, menurut kami, lebih baik daripada tidak pernah mencoba sama sekali.
Saat ini pun kami baru saja memilih untuk meninggalkan apa yang banyak orang bilang comfort zone : gaji bulanan. Sempat menunda lama, karena jujur setelah menjadi seorang ibu, saya lebih berhati-hati dalam menentukan pilihan. Biaya kesehatan dan pendidikan anak kelak yang paling menjadi pertimbangan saya. Tapi akhirnya saya sadar bahwa 'gaji bulanan' yang sering kali dianggap 'aman' ternyata tidak seaman itu. Kalau perusahaan yang katanya menjamin hidup kita tiap bulan tiba-tiba gulung tikar, atau suami tiba-tiba diberhentikan, lalu mau apa? Toh kami juga punya usaha-usaha yang sedang berjalan dan insyaAllah akan semakin berkembang (amin), dan suami juga alhamdulillah kemampuannya masih dibutuhkan beberapa kolega. Jadi tentu saja kami nggak modal nekat. Maka dengan diawali bismillah, kami pun tidak malu tidak jadi keluarga karyawan lagi.
Dalam waktu dekat inginnya kami juga memulai petualangan baru yang menyenangkan di rumh kami sendiri. Kalau ada rejeki, ingin beli rumah sendiri. Tapi kalau belum cukup, mengontrak bisa jadi opsi. Bukan kami sudah tak betah tinggal bersama orang tua. Semua orang juga tau betapa nikmatnya nebeng orang tua: kebutuhan bulanan bisa dihemat karena namanya juga masih nebeng. Apalagi keempat orang tua kami bukan tipe orang tua yang suka mendikte. Tapi semua orang juga pasti setuju kalau setelah berkeluarga kita butuh ruang untuk tumbuh. Untuk bisa membangun keluarga sendiri. Untuk bisa lebih mematangkan karakter. Dan terlebih lagi, untuk bisa lebih mengoptimalkan pertumbuhan anak. Apalagi di awal pernikahan kami, kami tinggal berdua jauh dari keluarga, serta saya dan suami sebelum menikah pernah tinggal jauh dari orang tua. Jadi kerinduan untuk hidup mandiri pasti selalu ada. Jadi doakan kami ya..
Anyhoo, kembali ke soal pilihan hidup. Ya, kadang buat sebagian orang pilihan hidup kami mungkin agak nyeleneh. But we're simply two people who don't feel too comfortable about the so-called comfort zone. Kadang-kadang soalnya si zona nyaman ini suka mengecoh. Gaji oke, hidup sejahtera, tapi kalau masih suka mengeluh soal jam kerja yang panjang atau bos yang menindas, sebelah mana nyamannya? Buat kami, comfort zone itu bukan sekedar kepastian pemasukan dan tanggal punya duit tiap bulan. Karena kalau masih ngeluh soal kantor dan misuh-misuh soal kerjaan, itu namanya cuma pura-pura comfortable. After all, we don't want to just sit around waiting what life offers. We prefer chase the dreams, and seize our days.
Bismillahirrahmanirrahiim :)..
Seperti contohnya, saat suami saya memutuskan untuk berhenti dari sebuah perusahaan besar (waktu itu suami ditempatkan di Kalimantan) dan pindah ke kantor kecil di Bandung. Banyak orang menyayangkan keputusan ini. Faktanya memang menjadi pegawai di perusahaan ini adalah dambaan banyak orang. Gaji (katanya) besar, tunjangan ina-inu, jenjang karir, dan fasilitas kantor lainnya yang menyilaukan mata *halah*. Tapi kami berdua merasa bukan semata kemapanan yang kami cari. Bukan congkak bukan pula sombong, tapi semua janji kemapanan itu jadi nggak berarti ketika kami ingat bahwa kami harus seperti keluarga tentara. Siap dipindah kemana saja kapan saja. Saya sih nggak bisa membayangkan harus berkali-kali boyongan kesana kemari, apalagi kalau anak sudah sekolah. Itu, dan banyak faktor lainnya yang akhirnya membuat suami memtuskan untuk meninggalkan pekerjaan itu.
Hal lain yang sempat bikin kami nyengir kuda saat baru pindah dari perusahaan itu adalah soal 'kebiasaan' si suami yang kalau tinggal di luar kota biasanya nggak lama. Pernah ada dua kali kejadian. Sekali, saat dia masih SMP dan memilih pesantren di Garut tapi hanya satu semester dan memutuskan untuk bersekolah di Bandung. Kedua kali, saat kuliah di Depok dan setahun kemudian memilih kembali pulang ke Bandung dan kuliah di Jalan Ganesha *jadi kusir delman*. Ditambah kejadian berhenti bekerja di Kalimantan dan pulang ke Bandung jadi tiga. Otomatis selama beberapa bulan pertama kepindahan kami, sering sekali mendengar cerita soal si suami yang selalu 'pulang' ke Bandung ini. Kami sih nggak pernah tanggapi terlalu serius. Pertama, karena kami tau ada alasan kuat dibalik kepulangan-kepulanagn itu. Dan kedua - yang paling penting - meskipun kembali ke Bandung, setidaknya kami pernah berani mencoba pergi dari Bandung dan mencoba hal baru. Setidaknya kami dapat pengalaman yang tentu memperkaya hidup kami. Mencoba dan kembali, menurut kami, lebih baik daripada tidak pernah mencoba sama sekali.
Saat ini pun kami baru saja memilih untuk meninggalkan apa yang banyak orang bilang comfort zone : gaji bulanan. Sempat menunda lama, karena jujur setelah menjadi seorang ibu, saya lebih berhati-hati dalam menentukan pilihan. Biaya kesehatan dan pendidikan anak kelak yang paling menjadi pertimbangan saya. Tapi akhirnya saya sadar bahwa 'gaji bulanan' yang sering kali dianggap 'aman' ternyata tidak seaman itu. Kalau perusahaan yang katanya menjamin hidup kita tiap bulan tiba-tiba gulung tikar, atau suami tiba-tiba diberhentikan, lalu mau apa? Toh kami juga punya usaha-usaha yang sedang berjalan dan insyaAllah akan semakin berkembang (amin), dan suami juga alhamdulillah kemampuannya masih dibutuhkan beberapa kolega. Jadi tentu saja kami nggak modal nekat. Maka dengan diawali bismillah, kami pun tidak malu tidak jadi keluarga karyawan lagi.
Dalam waktu dekat inginnya kami juga memulai petualangan baru yang menyenangkan di rumh kami sendiri. Kalau ada rejeki, ingin beli rumah sendiri. Tapi kalau belum cukup, mengontrak bisa jadi opsi. Bukan kami sudah tak betah tinggal bersama orang tua. Semua orang juga tau betapa nikmatnya nebeng orang tua: kebutuhan bulanan bisa dihemat karena namanya juga masih nebeng. Apalagi keempat orang tua kami bukan tipe orang tua yang suka mendikte. Tapi semua orang juga pasti setuju kalau setelah berkeluarga kita butuh ruang untuk tumbuh. Untuk bisa membangun keluarga sendiri. Untuk bisa lebih mematangkan karakter. Dan terlebih lagi, untuk bisa lebih mengoptimalkan pertumbuhan anak. Apalagi di awal pernikahan kami, kami tinggal berdua jauh dari keluarga, serta saya dan suami sebelum menikah pernah tinggal jauh dari orang tua. Jadi kerinduan untuk hidup mandiri pasti selalu ada. Jadi doakan kami ya..
Anyhoo, kembali ke soal pilihan hidup. Ya, kadang buat sebagian orang pilihan hidup kami mungkin agak nyeleneh. But we're simply two people who don't feel too comfortable about the so-called comfort zone. Kadang-kadang soalnya si zona nyaman ini suka mengecoh. Gaji oke, hidup sejahtera, tapi kalau masih suka mengeluh soal jam kerja yang panjang atau bos yang menindas, sebelah mana nyamannya? Buat kami, comfort zone itu bukan sekedar kepastian pemasukan dan tanggal punya duit tiap bulan. Karena kalau masih ngeluh soal kantor dan misuh-misuh soal kerjaan, itu namanya cuma pura-pura comfortable. After all, we don't want to just sit around waiting what life offers. We prefer chase the dreams, and seize our days.
Bismillahirrahmanirrahiim :)..
Subscribe to:
Posts (Atom)