Malam ini saya nggak bisa tidur. Nggak tau kenapa, padahal gak ada yang penting-penting amat yang dipikirin. Mungkin karena nggak ada yang dipikirin, malah jadi ga kepengen tidur. Mejelang subuh, mendadak kangen teman lama dari jaman kuliah. Sahabat, boleh dibilang begitu.
Waktu kuliah, saya baru akrab sama si teman ini pada tahun kedua, nyaris masuk tahun ketiga. Awalnya karena satu tongkrongan, ngerasa klop, dan akhirnya jadi akrab. Yang bikin saya bisa deket sama dia adalah obrolan kami yang nyambung banget. Si teman ini, orangnya cerdas sekali. Secara akademis sih ga beda jauh sama saya, tapi dalam kesehariannya obrolannya selalu berbobot. Ngebahas apapun, selalu dalem, filosofis, dan penuh makna. Nggak cuma omong kosong. But somehow, ga jadi berat juga. Malah cenderung mengalir dan selalu diselingi ketawa-ketawa. I think that is why he's special. Dia bisa bikin obrolan yang kayanya berat, jadi ringan dan mneyenangkan, tapi nggak kosong.
Saya masih ingat cara bicaranya. Suaranya berat, cenderung 'patah-patah' dan penuh penekanan, khas batak. Dan selalu dibarengi cengiran. Perawakannya tinggi, nggak terlalu kurus, dan hampir selalu botak. Meskipun tampilannya keras, tapi orangnya nggak kasar, dan sama perempuan sangat sopan dan amalahan cenderung manis. Bukan karena ingin dapat perhatian lebih dari perempuan, tapi karena dia memang menghormati perempuan. Ya, saya ingat dia begitu menghormati perempuan. Dan saya ingat dia naksir berat sama teman dekat saya, yang sekarang jadi juragan batik.
Si teman ini, selain cerdas dan filosofis,pun jago main musik. Alat musik yang paling dikuasainya adalah gitar dan piano. Dan suaranya, suaranya kalau bernyanyi, sangat mirip suara Chris Martin. Iya, Chris Martin yang Coldplay itu. Kalau kapan-kapan saya ketemu dia lagi akan saya suruh dia nyanyi lagu 'Trouble'. Kami malah pernah bercita-cita punya album duo. He's a good music arranger too. lagu-lagu yang saya ciptakan dengan nada asal, bisa dia permak jadi enak didengar. Seenggaknya buat penyuka frente atau The Cardigans, bisa lah diterima. Tapi sayang, belum rampung kami menggubah lagu, impian itu harus bubar. Alasan klasik: skripsi. Begitulah nasib karir bermusik kami yang layu sebelum berkembang.
Agama saya, dan agama dia berbeda. Tapi bukan berarti kami tidak pernah bicara soal agama. Beberapa kali kami berdiskusi, mampir ke ranah yang namanya kepercayaan itu. Dan dalam setiap diskusi, ada gesekan disana-sini. Iyalah, namanya agamanya beda, pasti ada perbedaan pendapat. Tapi perbedaan itu nggak pernah bikin kami gontok-gontokan, apalagi sampai berniat saling membakar rumah ibadah satu sama lain. Buat kami, agama adalah daerah personal. Saya pecaya agama saya yang terbaik buat saya, dan dia percaya agama dia yang terbaik buat dia. Dan kami menghargai itu. Maka ketika sampai pada dialog yang mentok, kami sudahi percakapan dan ganti topik. Kitab suci kami beda, jelas referensinya pasti beda, jadi tak ada gunanya debat kusir.
Tidak pernah ada jalinan asmara diantara kami. Bahkan tidak pernah terpikir sedikitpun di benak saya untuk naksir sama dia. Mungkin karena dia kurang ganteng. Eh enggak, ding. Ya, mungkin karena memang saya nggak naksir aja. Terlepas dari betapa kagumnya saya sama dia dan pemikiran serta kemampuan bermusiknya, saya tidak pernah dkasih Tuhan buat punya perasaan jatuh cinta sama dia.
Terakhir ketemu si teman, saya lupa. Apa tiga tahun lalu sebelum saya menikah, atau dua tahun lalu sebelum saya hamil Aisyah. Yang pasti tempatnya di Selasar Dago. Obrolan masih seru, penuh filosofi, meskipun harus diawali dengan catching up karena saat itu sudah beberapa lama kami nggak ketemu. Saat itu kami membahas hidup yang semakin nyata, dan buku. Ya, dulu saya begitu menggilai buku. Sekarang sudah tidak gila lagi. Dulu waktu saya masih gila, si teman inilah salah satu referensi terpercaya saya.
Sayangnya, semenjak terakhir ketemu itu saya kehilangan kontak. Saya belum repot-repot mencarinya di jejaring sosial manapun. Saya punya feeling dia nggak aktif di jejaring sosial. Meskipun saya bisa membayangkan, di suatu tempat di dunia maya, dia punya blog keren yang penuh tulisan berbobot.
Anyhoo, sebetulnya mungkin kekangenan saya sama dia ga harus sedramatis ini. Sebetulnya mungkin saya tinggal tanya sama teman yang lain dan langsung bisa kontak-kontakan dan seru-seruan lagi seperti dulu. Tapi untuk sementara, biarlah jadi drama dulu. Seenggaknya sampai nanti pagi. Karena sekarang saya harus makan sahur dulu.