Ganjalan Masa Lalu
by
|
0
comments
|
Pernah ga, kamu suka sama suatu brand, suka konsep dan produk/jasanya, tapi ga mau pake karena punya pengalaman ga enak sama ownernya?
Saya pernah.
Jadi bertahun-tahun lalu, saya pernah mengajak kolaborasi sebuah - sebut saja brand - buat satu acara charity bazaar. Acaranya memang ga full charity karena yang disumbangkan hanya sekian persen dari keuntungan (ga semua keuntungan).
Brand ini mengajukan share 20% dari profit. Aku tawar, boleh nggak 10% aja. Karena ini acara charity. Aku pikir ini wajar, karena harga barang-barang yang dijual tergolong murah. Pesertanya juga ibu-ibu "biasa", ga melibatkan influencer whatsoever.
Secara mengejutkan, si owner langsung misuh-misuh. Katanya, share profit tersebut ga sesuai sama effort dari brand nya.
Padahal, venue bukan milik dia. Hanya kebetulan lokasi brand tersebut ada di tempat venue. Publikasi juga kami nggak bergantung sama dia. SDM pun dari kami.
Saya dulu mengajukan kolaborasi karena merasa brand ini sesuai dengan spirit acara kami, dan for the sake of etika karena ami pakai venue di tempat yang sama dengan lokasi brand ini berada.
Yang lebih bikin sakit hati lagi, owner brand ini menuduh kami "ga niat beramal" dan membandingkan dengan acara charity yang pernah dia bikin dengan 100% profit disumbangkan.
Dia ga tau, profit ga 100% disumbangkan adalah karena peserta acara charity kami ini mostly mata pencahariannya dari barang-barang yang mereka jual di bazaar. Jadi ya wajar kalau ga semua keuntungan disumbangkan. Pun dia ga tau kalau panitia sama sekali nggak dibayar, cuma dapat makan dan snack. Bahkan, pembicara dan tutor untuk acara talkshow dan workshop juga mau dibayar dengan sangat murah, padahal mereka adalah orang-orang yang cukup punya nama di bidangnya.
Prejudice itu jahat, ya?
Belum puas, si owner brand menuduh saya akan screenshot percakapan whatsapp kami dan menyebarkannya buat menjelekan dia. Eh, gimana? Kalau hatimu busuk, jangan anggap hati orang lain busuk juga dong.
Ga ngerti kenapa dia begitu. Apakah karena kesal sama saya yang pernah meminta mereschedule meeting kami?
Tapi kan rasanya ga perlu ya sampai menilai buruk niat orang.
Sampai hari ini, saya ga pernah menceritakan soal ini di media sosial. Yang tahu ceritanya pun terbatas pada panitia saat itu (karena mereka berhak tau kenapa ga jadi kolaborasi dengan brand tersebut) dan suami saya saja.
Yang lucu, beberapa tahun setelah acara itu, saya ketemu anak si pemilik brand tersebut, yang dengan ringannya ngomong "Mama aku ga suka sama kamu."
Speechless, kan? Anak saya yang kebetulan ada di situ sampe bengong dan nanya ke saya kenapa mamanya X ga suka sama saya. Saya cuma bilang, "Gak apa-apa. Kita mah tetap bail aja ya sama orang lain".
Sok bijak emang, tapi ya mau ngomong apa lagi? Mau nyeritain kelakuan emaknya? Apa manfaatnya?
Terus, kenapa akhirnya setelah bertahun-tahun saya cerita soal ini di sosmed? Karena ternyata hal yang saya anggap sudah berlalu ini masih mengganjal. Terutama setiap melihat brandnya wara-wiri.
Saya kaya pengen ngomong, "Bulls*it lah program lu kalau ownernya hatinya begitu".
Saya ga tau sih Si Owner ini punya luka masa lalu apa sampai dia perlu menyakiti perasaan orang begitu.
Makanya saya cerita di sini, biar ganjalan ini ga bikin saya menyakiti orang di masa depan.
Saya bukan orang yang pendendam. Tapi ada beberapa hal yang cenderung sakit hatinya saya simpan.
Mungkin juga hal yang satu ini masih terasa mengganjal karena ketika saya berusaha menjelaskan alasan kenapa minta sharing profit kecil, saya telanjur di block. Semacam gantung karena hak saya buat menjelaskan di cut begitu saja.
Tapi lucunya,kalau suatu hari saya ketemu orang ini, kayanya saya ga berminat untuk "menyelesaikan" permasalahan sama dia. Utamanya, karena saya merasa ga ada manfaatnya dan ga butuh juga berhubungan sama orang kaya gitu. Sampai sekarang, tanpa merendahkan usaha dan niatan baik orang-orang di balik brand ini, saya enggan sekali bersentuhan dengan brand ini.
Hikmah dari tulisan ini, ga ada hikmahnya, sih. But at least saya sudah sedikit menumpahkan beban (yang selama ini saya kira bukan beban) supaya ga mengendap di pikiran saya.
Semoga kita semua selalu jadi orang yang baik, dan menjaga hubungan baik, ya.
Especially if you own a brand, because your personality somehow attached to the brand.